Sayup-sayup kudengar percakapan ibu dan bapak di balik pintu kamarku. Ternyata aku tertidur dengan ponsel di tangan setelah mencoba menghubungi mas Fikri beberapa kali, dan ponselku lowbat.
Aku penasaran dengan percakapan mereka. Siapa yang tega? Siapa yang mau dipisahkan?
Dengan langkah yang lunglai khas orang baru bangun tidur, aku berjalan menghampiri bapak dan ibu di ruang tamu.
"Siapa, Pak, yang mau dipisahkan?" Tanyaku pada bapak yang terlihat buru-buru mengganti channel tv. Gerakannya seperti orang yang gelagapan sebab ketahuan melakukan kesalahan.
"Apa sih, Hil, dari pulang sekolah kok omonganmu gak nyambung?" Kali ini ibu yang bersuara.
"Itu, tadi, kalian bahas apa? Kayaknya aku dengar pisah-pisah gitu dari dalam kamar.
"Mimpi kamu, Hil. Baru bangun tidur kan? Orang kita lagi nonton tv dari tadi."
"Iya apa, Pak?"
"Heh, dasar kamu ini!"
"Ih, masa sih. Tau ah, aku mau siap-siap dulu, ada rapat wali kelas.
Akupun berlalu ke kamar untuk siap-siap ke sekolah. Sejenak, kulihat ponselku yang sedang dicarger. Kubuka grup sekolah di WhatsApp untuk memastikan waktu rapat yang disepakati. Tiba-tiba saja ada panggilan video call dari mas Fikri.
"Halo Mas.....baru aktif WAmu, ya?"
"Iya, Dek. Mas sibuk dari tadi, gak sempat buka hp. Kamu apa kabar? Mas kangen......"
Ya ampun...orang ini, siapa juga yang gak kangen? Secara dia udah tiga belas hari di sana.
"Dek, kok diam? Kamu gak kangen sama Mas ya?"
Akhirnya aku tidak bisa menahan lagi air mataku.
"Lho, kok malah nangis sih...sabar, Dek. Ini tanggung jawab Mas. Mas gak sendirian, kok, banyak teman-teman lain yang juga menjalankan tanggung jawabnya. Bukan cuma kita yang kangen-kangenan. Bukan cuma kita yang lagi berjauhan. Bahkan, teman-teman Mas sudah punya anak. Lebih besar lagi tanggung jawab mereka."
Jujur saja, aku sebal sekali kalau suamiku menyuruhku untuk sabar. Sepertinya, kata itu menjadi jurus andalannya untuk menenangkanku di kala aku ingin protes sebab seringnya dia ditugaskan di luar kota.
"Doakan saja, semoga cepat selesai dan kita bisa berkumpul lagi."
Aku hanya mengangguk dan mengusap air mataku. Kerongkonganku terasa tercekat, tak mampu menyuarakan sepatah katapun dari bibirku. Entahlah, rasa rindu ini tidak seperti biasanya. Lebih dalam.
"Ya sudah, Mas tutup ya, telponnya. I love you, Sayang!"
Panggilan diakhiri. Layar ponselku menampilkan foto kami yang sedang menghadap ke arah matahari tenggelam.
"Masyaallah!"
Reflek aku memekik melihat jam di ponselku yang menunjukkan pukul 14:56 yang artinya empat menit lagi rapat wali kelas akan dimulai. Dengan terburu-buru aku membenahi dandananku. Mematut diri sebentar di depan cermin, lalu bergegas dengan langkah seribu.
"Bu, aku berangkat ya...!" Ucapku pada ibu yang sedang mengangkat cucian dengan sedikit berteriak sembari menstater motorku.
***
Akhirnya, ya Allah...dengan napas tersengal aku sampai di depan pintu kantor MI. Sejenak, kunormalkan deru napasku. Tarik napas, hembuskan. Aku mengetuk pintu yang sedikit terbuka dan diikuti dengan ucapan salam.
"Assalamualaikum, maaf, saya terlambat." Ucapku dengan senyum kikuk yang sepertinya mirip dengan ringisan.
"Silakan duduk. Selamat bergabung Bu Hilya, rapatnya masih baru dimulai kok." Ucap pak Hendaru selaku kepala sekolah MI Tarbiyatul Islam.
"Terimakasih, Pak." Ucapku sembari duduk di kursi paling utara sebelum kursi terakhir. Berarti aku bukan satu-satunya yang terlambat karena ada satu kursi kosong di sebelahku.
Dua detik kemudian, satu tarikan napas saja terdengar suara ketukan pintu yang diiringi dengan salam. Ah, apa aku bilang, aku punya teman terlambat. Sama halnya denganku tadi, pak Hendaru mempersilakannya duduk dan bergabung. Dia duduk di sebelahku. Sontak aku mendengar bisik-bisik dan cekikikan lirih dari guru-guru perempuan di sebelahku.
"Harap fokus, semuanya. Saya ulangi lagi bahwa untuk penilaian siswa semester gasal ini meliputi ulangan harian tiga kali, ujian tengah semester, ujian semester dan jangan lupa untuk materi Baca Tulis Qur'an (BTQ) juga disertai dengan tes lisan.
Dan selanjutnya, pak Hendaru menghimbau perekapan absen siswa dan teknis yang berkenaan dengan pelaksanaan ujian semester gasal.
Jam menunjukkan pukul 16.45. Rapat selesai. Semua guru sudah keluar, tinggal seorang guru baru yang tadi datang paling akhir. Aku memang sengaja ingin keluar terakhir karena malas untuk berdesak-desakan di pintu.
"Perkenalkan, saya Farhan, pengganti wali kelas di kelas VI." Ucap guru baru itu dengan senyumnya yang mirip artis Rizky Billar.
"Saya Hilya, Pak, wali kelas di kelas III." Ucapku pada guru itu sembari berdiri untuk siap-siap keluar.
"Mari, Pak. Saya duluan."
"Iya, Dek, silakan."
Aku berlalu dengan pandangan fokus ke depan. Tunggu. Dia bilang apa tadi? Dek? Kedengarannya tidak enak, geli. Apa sih, kok kesan pertama sudah tidak baik di mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang ketiga
SpiritualHilya, seorang guru honorer di lembaga pendidikan swasta yang berusia dua puluh lima tahun. Ia adalah istri dari seorang laki-laki yang bernama Fikri. Mereka menikah karena dijodohkan. Rumah tangga mereka membuat orang-orang berdecak kagum dan iri k...