Chapter 9. A warm house to rest.

545 53 25
                                    


"I need a warm home, a place to rest. My body is tired, my brain is tired. I want a house that can make all my tiredness disappear."




Arm membuka matanya tidak nyaman ketika alarm yang berbunyi keras disamping tempat tidurnya menusuk indra pendengarannya. Tangannya meraih alarm tersebut dan menekan tombol mati. Setelahnya ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi.

Arm menarik dirinya agar terduduk diatas kasur. Merenggangkan otot tubuhnya dan memakai sandal rumahnya dan berjalan kearah kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya.

Matanya yang masih setengah terpejam dipaksakan terbuka dan Arm mulai mengambil sikat giginya.

"SIAL!!" Arm menjatuhkan sikat giginya kaget. Ia meraba bagian lehernya yang terdapat bekas merah yang sangat terang dan kontras. Berteriak panik sebelum menutup cepat mulutnya, ia takut Mae Godji akan mendengarnya.

"Sial. Sial. Sial." Arm menunduk, berjongkok untuk mengambil sikat giginya yang terjatuh dan mengumpat pada dirinya sendiri.

Ia ingat. Tentang apa yang terjadi semalam.

Wajahnya langsung sepenuhnya terasa panas. Arm menepuk nepuk pipi gembulnya, berusaha menyadarkan dirinya sendiri agar tidak terbuai.

Tapi tidak tahu kenapa mengingat Lee berkata bahwa mereka sudah berpacaran membuat wajahnya semakin panas. Padahal ia belum menyetujuinya dan itu merupakan keputusan sepihak dari Lee.

Arm menatap pantulan dirinya sendiri di kaca besar kamar mandi. Ia menyentuh bibir lembutnya dan menyentuh kulitnya yang ditandai semalam.

Jujur saja Arm masih bingung. Arm takut.

Ketakutannya masih sama. Trauma dan luka yang terjadi 3 tahun lalu masih sangat basah, belum terobati sama sekali. Darah dari lukanya masih menetes dengan deras, seolah enggan untuk berhenti.

Arm yang hari harinya berusaha menjadi seseorang yang terlihat mati rasa hanyalah sebuah tipuan. Semuanya percaya akan tipuannya, dan semuanya tidak peduli akan itu.

Rata rata dari mereka benci jika tidak diperdulikan, mereka ingin diingat, ingin dimengerti. Arm berbohong, ia mengingat, ia mengerti, ia peduli, hanya saja ia berusaha menutupi semuanya.

Karena sikap hangatnya yang dulu membuatnya menjadi serusak ini, membuatnya memiliki luka yang seakan tidak akan pernah sembuh.

Arm hanya tidak mengerti mengapa Lee seperti itu. Pria itu hanyalah pria biasa yang ditemuinya karena perintah dari gurunya. Ia mengingat sedikit tentang Lee, pria yang ditemuinya saat penerimaan siswa baru.

Hanya Lee seseorang yang berusaha dilupakannya dari orang orang yang ia temui karena dibantu olehnya.

Ia berusaha melupakan Lee karena dihari ia bertemu Lee adalah hari dimana seseorang memberikan trauma untuknya.








Point of view: Arm Weerayut.


Ketika Lee mengatakan tentang hari itu, jujur saja ia seperti memaksaku untuk melihat lagi luka lebar yang berusaha kubalut sekuat tenaga. Tapi aku berusaha memahaminya, aku berusaha untuk tidak menangis seperti biasanya, menutupinya dengan jantungku yang berdetak seperti barang rusak dan wajah yang memerah padam. Aku memang sempat tersipu karena ucapannya, tapi wajah merah padamku bercampur dengan wajah yang menahan tangis sebisaku.

Tapi aku segera menepis tentang ingatan hari itu, aku berusaha fokus padanya. Aku menggigit bibirku, tersenyum kecil melihat ingatannya yang baik tentangku walaupun sudah 2 tahun aku melupakannya.


You. (LeeArm)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang