Aku, Berhenti

38 5 9
                                    

Aku berhenti. Sudah sekian purnama ikrar itu kuucap sungguh-sungguh, dalam hati. Namun nyatanya, semesta tak semudah itu mengabulkan.

Es teh di hadapanku mulai mencair. Titik-titik air dinginnya membungkus gelas. Sedotan hitam dari tadi hanya kuputar.

Langit sore kali ini berbaik hati meminjamkan awan besarnya, meneduhkan ujung hari. Larik sinar mentari menerobos jendela besar, menyiram sebagian wajah. Hangat, tapi tak mampu menyentuh dinginnya hatiku. Lebih tepatnya akal sehatku.

"Hoi!" hampir saja reflek kulempar gelas.

"Ish," aku mendesis menyadari siapa yang datang. Tanpa izin dia menyambar es tehku, membuang sembarangan sedotan dan menegaknya hingga tandas.

"Habis kerja rodi, Pak?"

Dia menyeringai, tertawa renyah. Lagi-lagi tanpa kata mencomot kentang goreng. Mengunyahnya santai.

"Ngapain sih disini sendirian? Jomblo kok dipamerin," katanya sewot.

"Ceritanya mau me time. Tapi ada orang gak tau siapa tiba-tiba dateng, minum es, makan kentang. Gagal me time deh."

Dia tertawa puas melihat wajah masamku, membuat orang di meja sebelah menoleh sekilas. "Buat apa me time? Sok banget," cibirnya.

"Bahagiain diri sendiri itu penting. Makanya kapan-kapan cobain, nagih ntar."

"Bahagia itu bareng-bareng. Bahagia sendiri... berasa lagi berusaha menutup luka."

Aku terdiam. Bahagia sendiri, pelarian menutup luka? Sejurus perih menjalar, dia benar.

"Hoi, ngelamun." Sedotan hitam mendarat tepat dihidungku.

"Ak-sa-ra," mataku melotot, memberinya sinyal pertempuran.

"Hahaha ampun, ampun," tangan lebarnya menutup muka, berlindung dari seranganku.

"Ngapain disini? Pasti nyusul kan, ngaku!"

"Dih pede. Mau jemput someone. Mau bahagia, tapi gak sendiri," sengaja betul dia menyindir.

"Tari?" tanyaku.

Dia mengangguk sekali, sambil memperhatikan luar jendela. "Nah itu dia. Duluan yee, dadaah jomblo," dia bangkit setelah melempar kentang goreng terakhir ke kepalaku.

Aku membalasnya dengan acungan kepalan tangan.

"Hana," panggilnya setelah beberapa langkah.

"Hmm,"

"Pulang gih. Udah sore, ntar kemaleman gak ada bis," ucapnya sedikit keras.

"Iya 5 menit lagi," sahutku tak kalah keras.

"Iyee jan lama-lama, daah," dia benar-benar pergi usai melambai.

Punggungnya mengecil, lantas menghilang di kelokan. Aku mengintip dari balik jendela, sosoknya tak terlihat. Terlalu ramai di luar sana.

Pikiranku kembali sunyi. Dengan gamang menatap kursi kosong bekasnya. Aroma parfumnya tertinggal, menguar bersamaan dengan perang batinku.

Laki-laki berjaket itu. Yaa, dia yang selama ini tanpa permisi menetap di salah satu bilik hatiku. Berkali kuusir paksa, justru semakin kokoh bersarang disana.

Sungguh, aku ingin berhenti diam-diam mengaguminya. Berhenti cepat-cepat membalas pesannya. Berhenti seolah tak peduli ketika nama perempuan lain terucap dari bibirnya. Berhenti bersikap seolah aku baik-baik saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku, BerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang