[1] - dia yang ingin melompat

824 151 7
                                    

kalau aku melompat, semuanya berakhir kan?

kalau aku jatuh, aku tidak akan mengalami ini semua lagi kan?

kalau aku mati,

sakit ini pasti hilang kan?


rasanya pandangan di bawahnya bergoyang, seperti magnet, menariknya perlahan-lahan dan makin lama makin kuat. pandangannya jadi berbayang. pusing. keseimbangannya labil. rancu. rasanya otaknya bercabang dan tidak tahu dimana pokok utamanya.

tolong.

aku takut.

benarkah aku ingin mati?

haruskah aku mati?

apa salahku sampai harus mati?

kenapa aku yang harus menyerah?

tubuhnya gemetar. bukan karena angin kering dingin musim gugur. bukan karena kaos tipis yang ia kenakan. juga bukan karena rasa sakit yang perlahan menjalar di lengannya, menggoreskan luka, meneteskan darah hingga ke ujung jarinya.

ia kebingungan.

ia ketakutan.

tapi, apa yang kupertahankan?

satu kaki itu naik ke undakan gedung sekolah. rasa sakit aneh mengoyak di dadanya, menggaungkan hampa yang mulai merasuk di tulangnya, gemetarnya perlahan-lahan mulai stagnan. air mata telah kering di pipinya, matanya telah sembab karena terlalu banyak dikuras walau bibirnya terkatup rapat.

lagipula, tidak ada satupun.

tidak ada.

kini kedua kakinya telah mantap di undakan. tinggal menjatuhkan sedikit beban tubuhnya ke belakang, ia akan bebas.

atau ia pikir begitu.

lagipula,

jika aku mati,

tidak ada yang rugi,

tidak akan ada yang kehilangan.

semua akan baik-baik saja, ada aku atau tidak.

aku juga tidak rugi apapun.

matanya yang sembab tertutup, dengan lingkaran hitam dan bengkak, bibir pucat, kering juga pecah-pecah, dan rambut kusut awut-awutan.

hidup hanya permainan, benar?

kalau begitu,

aku ingin berhenti bermain.

hanya sedikit dorongan kecil, kakinya tergelincir, kemudian udara memeluknya erat, menunggunya jatuh dan mengucapkan selamat tinggal tanpa suara pada dunia.

.
.
.

"hah, lagi-lagi."

sosok itu tinggi, tegap, dan berpakaian serba hitam. kontras dengan kulitnya yang putih sebersih sinar bulan. dengan gampang, ia menarik seorang pelajar yang hampir jatuh dari pinggiran gedung sekolah. uhm, sepertinya, pelajar yang sengaja jatuh. dengan dagu terangkat, ia menyaksikan pelajar bertubuh kurus itu terpental ke belakang dan tersungkur, seolah ada angin ribut yang mendorongnya, mencegahnya jatuh.

seharusnya, ia tidak ikut campur.

namun, sisa waktu si pemuda masih lumayan panjang, tidak ada indikasi akan mati hari ini sehingga kemungkinan, percobaan bunuh dirinya gagal dan ia akan memdekam di rumah sakit karena kritis. ia memang dilarang ikut campur, namun dalam hal-hal mencegah kebodohan seperti ini terjadi, ada hak-hak khusus interupsi yang diberikan. walaupun begitu, pertolongan mereka hanya sekedar dianggap keberuntungan karena mereka memang tidak terlihat.

kini ganti dirinya yang berdiri di pinggiran atap, kedua lengannya dimasukkan ke dalam saku, kemudian cukup terkejut saat menemukan sepasang mata pelajar yang tadi ia selamatkan kini menatapnya tajam. sosok itu menoleh ke belakang, lalu kembali pada pelajar tersebut.

"kamu bisa lihat saya?" sosok itu menunjuk dirinya sendiri.

namun pelajar itu memalingkan wajah, kini berdiri lagi dan menepukkan tangannyaㅡow, telapak tangan si pemuda itu sampai lecet, apa dia terdorong terlalu keras? pasti perih. ia menaikkan sebelah mata saat si pelajar itu berjalan menuju ke arahnya, mulai merasa konyol karena merasa si pelajar bisa melihatnya. nyatanya kaum dirinya memang tidak bisa dilihat orang lain.

namun, jantungnyaㅡitupun jika dirinya punya jantungㅡserasa mau copot saat si pelajar kini berdiri di sebelahnya dan mencoba menjatuhkan diri lagi. dengan sigap, ia meraih lengan kurus itu, dicengkeram erat sehingga si pelajar seolah menggantung di pinggiran gedung.

"anda ngapain!?"

suara pemuda itu serak, sejenis suara yang pemiliknya jarang berbicara atau setelah menangis berhari-hari. ia menatap si pelajar tajam, yang juga dibalas sama tajamnyaㅡdalam hati ia bergidik ngeri melihat betapa parah kantung mata itu.

ah, ternyata pelajar ini benar-benar bisa melihatnya.

"kamu yang ngapain?"

"saya mau loncat! lepasin saya!" si pelajar meronta, benar-benar meronta seolah dia tidak takut dilepaskan dan benar-benar jatuh.

dia berdecak, "belum waktunya."

"hah?"

si pelajar mengerutkan kening, namun bukannya mendapat jawaban, ia kembali terempas ke belakang dengan keras hingga ia jatuh tersungkur danㅡtelapak tangannya yang ia jadikan tumpuan bertambah lecet.

"kamu harusnya berterima kasih karena saya selamatkan."

"kenapa saya harus berterima kasih?" si pelajar itu mendongak, sudut bibirnya naik tipis namun matanya menampilkan kehampaan yang kentara. "saya nggak pernah minta untuk diselamatkan." [ ]

if you want to die;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang