Bab 1 (prolog)

61 1 0
                                    


Andai bisa sesederhana itu, barangkali saya gak akan pernah menyatakan perasaan saya sama kamu kalau akhirnya hanya akan buat kamu sakit. doa saya sejak bertahun lalu tetap sama, semoga kamu dipertemukan dengan laki-laki yang bisa menyayangimu lebih dari saya. kita pernah terlalu cinta sampai tak habis kata untuk bercerita, hingga pada titik kehabisan kata untuk bisa menjelaskan bahwa perpisahan adalah satu-satunya cara meredam kehilangan, meskipun kita tahu rasa sakitnya akan berkali lipat mengecewakan.

"Vin, sibuk itu palsu. semua tergantung prioritas". belakangan sebelum perpisahan itu kamu selalu bicara bahwa kamu bukan lagi jadi prioritas saya, bukan, Rain. kamu selalu jadi prioritas saya apa pun yang terjadi, tapi saya dalam ketakutan dan gak bisa menjelaskan apapun. sementara itu kamu sendiri terbelunggu dalam pertanyaan-pertanyaann di kepalamu yang gak pernah kamu utarakan, dan saya pun gak  punya jawaban. karena saya juga gak mau perpisahan itu terjadi. kamu tahu sebesar apa pengorbanan saya, bukan?

Rain, rumah makan di sudut kota Bandung jadi saksi. saat saya menyatakan perasaan saya sama kamu 3 tahun lalu dan melihat jawaban yang tertera dari senyum dan binar matamu yang terpancar berhasil membuat saya semakin yakin tentang perasaan itu, tapi di sana juga tempat saya membuat air matamu berderai, matamu yang dulu berbinar gak lagi terlihat, air mata memenuhi pelupuk mata kamu, tapi kamu masih berupaya tersenyum seakan semua baik-baik saja. Rain, parahnya saya gak bisa membela kamu atau menghapus air mata kamu, karena saya sendiri yang membuat luka itu ada. perpisahan yang terjadi buat kita sama-sama jadi makhluk kerdil


SAMSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang