BAB 5

1 0 0
                                    

DOR!

“Hayoloh … lagi ngelamunin apa?”

Rara tersenyum lebar. Setelah mencari kesegala arah, nyatanya Puspa bersembunyi di koridor lapangan.

“Kaget aku Ra ….”

“Makanya jangan ngelamun, Pus.”

Puspa mengegeleng cepat, “Gak ngelamuk kok.”

“Halah! Gak usah bohong deh …,” ucap Rara ia duduk di sebelah Puspa dan sedikit menyenggol lengannya.

“Aws!”

Rara terkesiap melihat respon Puspa yang kesakitan. “Kamu kenapa, Pus? Tangan kamu sakit?” tanya Rara ketika Puspa mememgangi lengan atasnya.

Puspa menggeleng. “Gak apa-apa kok.”

Rara merapatkan bibirnya dengan tatapan menyelidik. Saat Puspa lengah, Rara dengan sengaja menyingkap lengan bajunya sehingga terlihat memar di tangan Puspa.

“Kenapa bisa memar gini sih, Pus?”

Puspa buru-buru menutupi lengannya lagi. “Gak apa-apa. Beneran.”

“Gak apa-apa gimana? Itu memar, Pus. Ayok kita ke UKS.”

“Gak usah kok beneran ….”

“Itu kalau gak diobatin segera, nanti lama-lama membusuk. Kamu mau diamputasi?”

Mata Puspa mengerjap tak percaya. “Beneran?”

Rara mengangguk mantap.

“Tapi … ini luka kecil kok.”

“Luka kecil gimana? Iya kelihatannya kecil tapi itu darahnya beku. Kalau beku lama-lama busuk. Nanti menyebar dan diamputasi. Kamu mau?”

Puspa nampak berpikir. Sedangkan Rara tersenyum dalam hatinya. Benar-benar … Puspa itu pintar tapi kadang bodoh juga. Resiko orang polos ya begitu … gampang dikibulin.

“Ya udah. Anterin aku ke UKS, Ra.”

“Oke. Ayok Pus.”


************


Puspa dan Rara berjalan beriringan menuju UKS. Hanya saja Puspa merasakan hal aneh pada Rara. Ia jadi sering tersenyum tanpa sebab.

“Kamu sehat, Ra?”

Rara berjengit mendengar pertanyaan Puspa. “Kenapa? Ada yang aneh emang?”

“Banget.”

“Perasaan aku baik-baik aja, Pus.”

“Kamu gak gila ‘kan, Ra?”

“Eh … astagfirullahaladzim … itu mulut ….”

Puspa terkehkeh, “Lagian kamu senyum-senyum gak jelas dari tadi.”
Rara membulatkan matanya, “Emang kelihatan banget ya, Pus?”

Puspa mengangguk. “Kamu kenapa? Lagi jatuh cinta?”

“Apa? Apa sih ngawur,” Rara terlihat salah tingkah. “Lagian darimana kamu tahu ciri-ciri orang jatuh cinta?”

“Dari buku.”

Rara berubah air mukanya, “Euh … dasar Puspa ….”

“Hehehe … tapi bener ya?”

Rara meneleng. Ia ragu untuk menjawabnya. “Engga … cuman ya … lagi seneng aja. Gak seburuk apa yang aku kira.”

“Apa?”

Rara tersenyum penuh arti lalu melangkah lebih maju dari Puspa.. Ia sukses membuat Puspa penasaran.

“Ra! Kasih tahu dong!”

Rara hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Oh kamu gitu ya sekarang ….”

Rara menghiraukan Puspa. Ia meninggalkan Puspa masuk lebih dulu ke dalam UKS.

“Ye … perasaan aku yang sakit. Kenapa dia yang duluan masuk UKS?” ucap Puspa.

Puspa berhenti sebentar. Ia merogoh sakunya karena ponselnya bergetar. Satu pesan digital dari temannya. Ah ya, ia lupa mengirimkan materi pada temannya itu. Seraya berjalan, ia memainkan ponselnya.

Oleh karena itu, fokus Puspa terbagi. Ia tidak sadar bahwa di belakangnya ada siswa yang sedang tergesa-gesa. Detik berikutnya, siswa itu menyenggol Pupsa. Tentu saja membuat Puspa goyah keseimbangannya. Puspa terkejut. Ponsel ditangannya terlepas dan terlempar begitu saja.


DUG!


SET!


Puspa berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Tentunya ia tidak mau menjadi santapan lantai yang tampak bersih namun sebenarnya kotor itu. Secepat kilat,  Puspa berhasil menegakkan tubuhnya lagi. Ia langsung meraih ponselnya itu. Hanya saja … tangan lain lebih dulu menangkapnya


HAP!


Puspa menghembuskan napasnya lega. Setidaknya ponselnya aman ditangan yang entah siapa itu.

Puspa mendongak.

“Ari?”

Ari menyodorkan ponsel Puspa, “Lain kali yang fokus, Pus.”

“Makasih Ari … maaf ngerepotin.”

“Makasih juga sama dia noh. Kalau dia gak cepat tanggap lalu nyenggol gue, gue gak bisa tangkap tuh ponsel lho yang udah kaya bola tenis.”

Puspa menoleh. Ia baru sadar bahwa ada Liam di sisi Ari. Puspa kikuk. Bagaimana tidak? Kejadian waktu itu … cukup menghilamgkan muka di depan Liam. Begitupun dengan Liam, kejadian dia yang membawa Puspa … ah sudahlah …

“Ma—makasih Liam.”

Liam tersenyum kikuk. “Santai, Pus.”

“Kalau gitu aku permisi …,” ucap Puspa lalu pergi.

Liam menggeser badannya untuk memberi Puspa jalan. Puspa pun segera lewat dan masuk ke UKS. Ari yang melihat Puspa masuk ke UKS, menoleh pada Liam.

“Dia sakit?” tanya Ari.

Liam mengedikkan bahu.

“Lha? Lo pacaranya kok gak tahu?”

Liam memutarkan matanya jengah. “Apa sih Ri ….”

“Kalian pacaran ‘kan?”

“Mau gue kempesin tuh perut lo?”

“Aish … santai aja napa .,.. sensi amat lo.”

“Tahu lah …”

“Eh.” Ari berhenti. Sepertinya ia teringat sesuatu.

“Kenapa?”

“Apa … kalian malah udah putus?”

“ARI!”

Ari terkehkeh lalu pergi begitu saja. Sedangkan Liam tertinggal dengan muka masam. Sebelum mengejar Ari, Liam menoleh ke arah UKS. Ia jadi terpikir bahwa Puspa sakit. Ah, tapi apa gunamya? Stop sok baik Liam … nyatanya kebaikan lo kemarin aja gak direspon baik sama Puspa. Gumamnya dalam hati.

Ya. Akhir adegan sok keren Liam menyelamatkan Puspa kemarin itu … tidak berakhir manis. Puspa nyatanya malah tidak senang dengan perilaku Liam. Padahal Liam hanya ingin membantunya.


*********


Rara mengoleskan salep pada luka memar Puspa. Ia tak habis pikir kenapa Puspa bisa mengalami memar seperti ini. Puspa bukan orang bar-bar yang rentan memiliki luka memar. Rara penasaran tapi percuma karena Puspa hanya akan menjawab dengan kebohongan.

“Lain kali kalau buka pintu hati-hati. Tapi seberapa keras sih tiang pintu kamu, Pus? Bisa sememar ini.”

“Y—ya namanya kayu. Pasti keras.”

Rara menatap Puspa. Rupanya Puspa masih beralibi saja. Rara menggeleng pelan.

“Kenapa, Ra?”

“Hah? Apa?”

“Kamu geleng-geleng kepala tadi.”

“Enggak kok. Gak habis pikir aja.”

“Aih … gak usah dipikirin, Ra. Besok juga sembuh.”

Ucap Puspa menenangkan. Ia terpaksa berbohong. Pasalnya luka ini …. Apa lagi kalau bukan karena tragedi berdarah bersama kakaknya yang kesekian kalinya?
Ya. Kejadian kemarin sore itu, ketika Puspa berusaha terlibat menenangkan kakaknya yang mengamuk, ia terkena barang yang tak sengaja terlempar ke arahnya.

Ia sebenarnya harus bersyukur juga karena yang lainnya lebih parah. Kak Baiksa keningnya benjol sebesar telur. Ibunya terkilir kakinya karena tak sengaja terpeleset oleh air lele. Ayahnya … terkena encok karena salto untuk menghindari lemparan barang.

“Semoga. Tapi cewek itu asetnya tubuh. Kamu gak bisa bikin tubuh kamu mendapat luka kaya gini.”

Puspa terkehkeh, “Pemikiran macam apa itu. Cewek itu asetnya hati dan otaknya. Buat apa tubuh bagus kalau nantinya gak bisa membangun peradaban?”

“Waaah … kamu nyindir aku yang nilai kimianya 5?”

“Bukan … otak itu artinya pola pikir.”

“Iya-iya deh. Terima kasih quotes ot the day-nya Pus.”

“Sayangnya itu kata-kata, aku nemu pas buka insragram.”

Air muka Rara berubah drastis. Tangannya terulur untuk menjitak kening Puspa yang terkadang pintar tapi bodoh disaat bersamaan.


PLETAK!


“Baru juga aku bangga … dasar Puspa!”
Puspa terkehkeh. Tangannya mengelus-elus keningnya. Yang lain ia acungkan perdaiaman lewat jari tangannya.

“Eh, bentar lagi udah masuk jam pelajaran Pak Broto. Ayo Pus, aku gak mau di amuk lagi.”

“Ayo Ra ….”

Puspa turun dari ranjang pasien. Lalu mengekori Rara. Mereka berjalan beirirngan untuk segera pergi ke kelas. Pasalnya pelajaran matematika yang keramat akan segera dimulai. Ah, bukan. Gurunyalah yang keramat. Apabila kurang sesaji maka akan mengamuk.

“Mudah-mudahan sekarang gak ada tugas. Kadang aku gak ngerti sama guru itu ngasih tugas udah kayak bikin list kebutuhan hiudp selama 100 tahun.”

“Hus … jangan begitu. Dia guru, Ra.”

“Lagian sih … nyebelin.”

Puspa menyipitkan matanya. di arah yang berlawanan ada Liam dan Ari. Ah, tidak. Ia tidak seharusnya bertemu Liam.

“Ra … kita jalan sana aja, ya?”

Rara mengerutkan dahinya, “Mau ngapain?”

“Eu—aku mau keperpus dulu.”

“Yaelah Pus … nanti aja pulangnya. Mending kita ke kelas nanti dimarahi Pak Broto kalau telat.”

“Gak apa-apa gak akan telat.”

“Gak mau ah. Jalan sana jauh.”

“Ayolah Ra …,” ucap Puspa seraya menarik lengan Rara. Suaranya memang merayu. Tapi perilakunya tidak. Bahkan terkesan tidak mau tahu alias maksa.

“Iya-iya Pus … aduh santai jangan buru-buru.”

Puspa tidak peduli. Daripada harus bertemu Liam, ia memilih menahan sakit lengannya yang kini mulai berdenyut karena menarik lengan Rara dengan keras. Pokoknya ia tidak mau bertemu liam, titik.


*******

💫💫💫💫💫💫

My Bar-Bar FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang