[ Prolog ]

2 1 0
                                    

Saat mendengarnya secara langsung kala itu, jujur rasanya teramat senang. Tidak pernah sama sekali melunturkan ulasan yang terukir manis pada wajahku.

Bahkan kedua orangtuaku selalu bertanya kepadaku sambil mengusak pelan suraiku, 'Apa aku sebahagia ini, saat tahu kami akan pindah setelah kelulusanku?'

Tentu, aku mengangguk girang saat itu. Yang kurasakan hanya sesuatu yang teramat menyenangkan datang menyelimuti diriku secara keseluruhan.

Apalagi ketika kutahu, negara mana yang akan menjadi tempat tinggalku selanjutnya.

Korea Selatan.

Kota Seoul.

Itu yang selalu terlekat pada pikiranku, betapa hebatnya nanti disana. Akan ada banyak kisah baru, teman baru, lingkungan baru, nuansa perkuliahan kota Seoul, dan mungkin...

Sosok Kekasih?

Aku memikirkannya sampai sana.

Melekat terus menerus dalam pikiran, sampai-sampai aku tak sadar, bahwa tak semua kenyataan bisa terjadi seindah bayangan dalam pikiran manusia.

Aku memang mendapatkan lingkungan yang baik, nuansa perkuliahan disana sangat cocok denganku, nyaman dan damai. Mereka terlihat acuh akan urusan pribadi satu sama lain, namun jika satu sama lain sedang merasa kesulitan, mereka akan siap untuk membantu.

Teman? Aku juga mendapatkannya. Di awal memang tak begitu banyak, masih bisa terhitung oleh jari. Aku bukan tipikal gadis yang mudah untuk bergaul, jadi cukup sulit kalau bukan mereka yang tidak menghampiriku terlebih dulu.

Seiring berjalannnya waktu, temanku bertambah dengan berbagai sebab. Salah satunya ketika mereka tahu, kalau aku adalah teman dekat dari Han Seorin.

"Lily!"

Itu namaku, Lilian Kim. Lebih sering dipanggil dengan sebutan Lily oleh orang-orang disekitarku. Dan, sosok cantik yang sedang berlari ke arahku itu, Han Seorin. Ya, dia teman dekatku.

"Lho, kok tumben udah mau balik aja." Seorin berucap dengan nafas yang belum teratur normal, surainya sedikit teracak tak rapih seperti biasanya, dan pakaian yang ia kenakan pun terlihat lebih santai dari biasanya, "Udah selesai semua, udah ngga ada urusan lagi."

Hari ini memang jadwal kelasku tidak begitu padat seperti biasanya, bahkan ada beberapa kelas yang secara mendadak dibubarkan sebab dosen pengajarnya tak bisa menghadiri kelasnya.

Seorin mengerucutkan bibirnya, melipat kedua tangannya di depan dada lalu berujar dengan lucu, "Kau kan sudah janji mau ikut denganku ke Cafe yang baru dibuka itu." Aku mengerutkan kening sambil mengingat pelan-pelan pembicaraan ini.

Tadi malam Seorin memang mengirimiku sebuah alamat Cafe yang baru saja dibuka lusa kemarin, aku sempat membukanya dan tahu letak pasti tempat itu. Namun, sekarang aku lupa. Seriusan, lupa! Sudah tertumpuk oleh tugas kuliahku.

"Jangan bilang kau tidak lihat ya, apa yang kukirim kepadamu?" Mata Seorin memincing tajam ke arahku yang hanya bisa terkekeh canggung pada posisiku, "Lihat, kok. Cuma aku lupa, memang dimana?" Tanyaku tanpa rasa bersalah sekali.

Ia menghela nafasnya sedikit jengkel denganku, "Tidak jauh kok dari sini, jalan kaki pun kalau kau mau bisa sampai kesana." Aku hanya mengangguk mengerti dengan ucapannya, "Jadinya, kau ikut ya?" Seorin menarik-narik pelan ujung kemejaku dengan matanya yang berbinar.

Astaga, ingat dia ini temanmu!

Saat ini, aku hanya bisa mengangguk pasrah terhadapnya. Merasa jawabanku memuaskan, ia berteriak girang dan langsung memelukku disana, membuat kami berdua menjadi pusat perhatian, "Lepaskan, aku tidak suka dipeluk!"

Nihil. Ucapanku tak menghasilkan apapun. Ia sama sekali tak merenggangkan pelukannya, malah sengaja melakukan itu lebih lama dan memutar-mutar tubuh mungilku, "Kau harusnya senang bisa dipeluk oleh gadis sepertiku." Ujarnya yang membuatku menggeleng.

"Cepat, lepaskan. Aduh, malu dilihatin banyak orang!" Terpaksa, aku harus menggerakkan tanganku untuk mendorongnya, meski sedikit susah sebab tanganku yang lain sedang memeluk tumpukan kertas kerjaku yang baru kuselesaikan tadi. Gadis ini cukup kuat juga untuk menahan doronganku.

"Aish, Han Seorin. Lepaskan, cepatt! Ini menggelikan asal kau tahu." Ia menggelengkan kepalanya, lalu bertingkah seolah tak mendengar lagi pekikan kesalku akan kelakuannya, "Nanti kalau kudorong dan kau jatuh, itu bukan salahku."

Kembali mendorong pundaknya lebih kencang, aku hampir terlepas darinya kala tak sengaja keseimbangan gadis Han itu tak terjaga. Namun belum lima detik aku bernapas lega, pergerakan Seorin terlalu cepat, dia kembali menangkapku.

Dan aku kembali mendorongnya hingga kami terjatuh di lantai bersama, "Akkhh, Han Seorin!" Melebarkan mataku kesal dengannya, kini ia yang bersikap tak bersalah sama sekali kepadaku, ia hanya tersenyum lebar lalu disambut dengan kekehannya lagi.

Mendengus kesal setelah mengambil tumpukan kertas yang terjatuh, aku berusaha bangkit meski sedikit terasa nyeri pada pergelangan kaki, "Huh, untung tak begitu parah." Aku berdecak kecil, yang tentu masih bisa di dengar Seorin.

Gadis Han itu juga terlihat sedikit kesakitan, namun dia lebih mudah untuk beranjak berdiri sebab lututnya yang terlihat merah terbentur lantai, sedangkan diriku sepertinya pergelangan kaki yang terluka.

"Sini, kubantu." Aku menggerlingkan mata diam-diam saat Seorin berjalan untuk lebih mendekat, namun secara mendadak suana yang kurasakan terasa berbeda.

Aku mengangkat kepalaku, berusaha mencari keberadaan Seorin yang tiba-tiba terdiam seperti menghilang, "Ini, milikmu 'kan?"

Bukan, Han Seorin. Yang ada di depanku ini bukan Si Gadis Menyebalkan Han itu.

Ada yang belum kujelaskan secara rinci. Tentang, sosok kekasih? Bukan, maksudku seperti sosok lelaki yang kusukai, yang kukagumi, yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Ya, aku belum menjelaskan hal itu.

Dia itu, lelaki yang baik, mudah bergaul, ramah, dan sikapnya terkesan manis dan hangat meski terlihat dingin di luar.

Di saat pertemuan pertamaku dengannya, ia tak pernah menghilangkan senyumannya, memang bukan hanya untukku, tapi sesekali ia melirik bahkan menatapku.

"Aku, Na Jaemin. Senang bisa berkenalan denganmu, kuharap kapan-kapan kita bisa berbincang berdua di tempat lain."

Jantungku bekerja dua kali lebih cepat, meneguk salivaku berkali-kali dengan sulit, mataku ikut mengerjap beberapa kali berusaha memfokuskan pandanganku, "Kau, Lily 'kan?"

Dia mengingatku. Tak bisa kupungkiri rasa senangku menyeruak ke segala tubuhku, aku mengangguk semangat, "Ini, kertasmu tadi terbawa angin sampai kesana." Dia mengulurkan tangannya ke arahku.

"Ngga mau ambil ini?" Aku kembali mengerjapkan mata, lalu dengan cepat mengambil kertas milikku darinya, "Terima kasih." Ujarku yang sedikit malu, aku pasti tadi terlihat bodoh.

Ia hanya terkekeh sambil menganggukkan kepala, setelahnya ia tersenyum tak mengangkat kakinya dari hadapanku, "Terakhir kita bertemu bertatapan langsung seperti ini saat di halte bus, dan kamu pun terlihat tergesa-gesa saat itu."

Aku ingat, aku menganggukkan kepalaku, "Aku jadi ngga bisa ngajak kamu berbincang lama, dan sekarang kita ketemu lagi. Gimana kalau sekarang pergi bareng?"

Dari kejadian ini, pikiranku terbuka. Mengenai banyak hal, terlebih perasaanku.

Meski indah kujalani beriringan, bayangan yang kuandai selama ini mungkin bisa terjalan sesuai.

Aku tetap harus menyadarkan diri akan kenyataan yang datang dengan tak kesesuaian yang diri ini inginkan. Sudah terasa, dan aku tak bisa melakukan apapun.

[tbc]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FEELINGS✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang