S a t u

4 0 0
                                    

Seorang gadis berseragam putih abu-abu, tengah duduk di kursi teras depan dengan wajah cemberut. Sesekali melirik jam berwarna coklat yang melingkar di pergelangan tangannya.

Menghela napas lelah. Kemudian bangkit berdiri dan berjalan mendekati pagar rumah. Sepatu yang melekat di kakinya dijadikan senjata, untuk menendang pot bunga di halaman sembari bergumam tidak jelas.

Ke mana seseorang itu? Apa tidak mengingat ada gadis yang tengah menunggu kedatangannya di setiap pagi? Atau sudah bosan dengan tugasnya selama ini?

Dari jarak sejauh mata memandang. Terlihat ada seseorang mengendarai motor menuju tempat gadis tersebut berdiri. Pengendara itu tersenyum di balik helm-nya. Ia sudah mempersiapkan diri untuk menerima konsekuensi atas kesalahan yang dilakukan.

"Assalamu'alaikum, Radiva," ucap laki-laki itu sembari mematikan mesin motor.

Gadis itu menatap seseorang baru saja datang dengan ekspresi datar. Membenarkan tas punggung yang disampirkan pada bahu seraya melangkah keluar pagar. Berjalan mendekati si pemuda dengan malas.

"Wa'alaikumussalam. Kak Rendra kenapa lama?" tanya Radiva dengan raut muka kesal.

Pemuda yang mengenakan seragam sebuah pabrik itu menghela napas pelan. "Tadi isi bensin dulu. Maaf, ya."

Gadis itu diam. Dia lebih memilih menggerutu dalam hati.

'Tidak tahu saja Kak Ren ini. Hampir aja aku jamuran nungguin tanpa kepastian. Setidaknya kirim pesan atau apalah gitu. Bukan apa-apa, aku takut kesiangan untuk datang ke sekolah. Kalau gerbang udah ditutup, itu artinya bolos.'

"Sudah pamit sama emak?" tanya Rendra seraya melirik gadis itu.

Radiva membenarkan posisi duduknya yang terasa sedikit miring. Setelahnya dia menjawab, "Udah."

Setiap Rendra mengantar atau menjemput Radiva. Pemuda itu tidak lupa membawa tas punggung yang dijadikan sebagai pembatas antara keduanya. Ia pernah bilang pada si gadis, mereka tidak boleh terlalu dekat.

Rendra sangat menghormati Radiva sebagai seorang perempuan. Maka dari itu, ia tak ingin merusak anak gadis orang dengan cara menyentuh sembarangan. Meskipun mereka sudah sejak lama dekat, tetapi keduanya tidak pernah bersentuhan secara sengaja.

Rendra menjalankan motornya dan berlalu dari depan rumah Radiva. Tempat yang dituju, ialah SMA Pertiwi yang berlokasi cukup jauh dari desa mereka. Jarak tempuh sekitar dua puluh menit, apabila tidak terjebak macet.

Radiva, ialah seorang siswi SMA kelas tiga, semester dua. Umurnya tidak lama lagi genap 18 tahun. Sementara Rendra, pemuda berusia dua puluh dua tahun itu. Saat ini bekerja di salah satu pabrik sepatu yang terkenal di Indonesia, maupun manca negara.

Rendra dan Radiva, ialah sahabat sejak keduanya masih kecil. Jarak rumah mereka tidak terlalu jauh, hanya beda gang sama RT-nya saja. Mengantar Radiva ke sekolah sudah menjadi rutinitas bagi pemuda itu.

Radiva merupakan anak tunggal. Setelah kepergian sang bapak, dia hanya tinggal berdua dengan emaknya. Sementara Rendra, anak pertama dari tiga bersaudara. Namun, adik kembarnya telah meninggal sesaat setelah lahir. Peristiwa tersebut terjadi, sekitar lima belas tahun yang lalu.

*
Motor yang dikendarai oleh Rendra berhenti di depan pagar sekolah. Radiva turun dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Meskipun  itu sudah biasa baginya, tetapi dia beranggapan, bahwa kata tersebut harus selalu diucapkan.

"Pulang nanti kakak jemput," ujar Rendra tanpa menatap lawan bicara.

Radiva mengerutkan dahi bingung. "Bukannya Kak Ren harus kerja?"

"Seminggu ini kakak shift tiga. Jadi masuknya malam."

Gadis itu mengangguk paham.

Radiva terlihat gelisah. Sebentar menggaruk kepala, detik berikutnya pindah ke pipi. Ekspresinya pun terlihat seperti menahan buang air. Gelagat yang gadis itu ciptakan dapat ditangkap oleh Rendra.

Dalam hati, pemuda itu bertanya-tanya. Lantas ia pun terlihat sibuk dengan pikirannya. Ada apa dengan sahabatnya itu? Apa ia berbuat kesalahan yang baru? Ataukah Radiva tidak ingin bersahabat dengannya lagi? Perihal telat tadi saja belum meminta maaf.

Keduanya sama-sama terlena akan dunia baru yang mereka ciptakan. Namun, bedanya, satu memikirkan bagaimana cara untuk meminta maaf, karena merasa bersalah atas sikapnya. Satunya lagi, menerka-nerka apa yang membuat gadis di hadapannya ini terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.

"Kak." Suara Radiva sukses membuyarkan lamunan Rendra yang melebar jauh. Pemuda tadinya menatap lurus ke depan, kini beralih menatap gadis berada di sisi kanannya.

Rendra sedikit menelengkan kepalanya. "Ya, kenapa?"

Gadis itu tidak langsung menjawab. Setelah mengumpulkan keberanian, dia berujar, "Aku minta maaf, Kak."

Alis Rendra meninggi. "Untuk?"

"Tadi aku sempat kesal, karena Kak Ren lama, tapi pas tahu penyebabnya. Aku jadi enggak enak," ujar Radiva dengan raut wajah bersalah.

Usai mengucapkan kalimat tersebut. Beban menumpuk di pundak Radiva terasa terhempaskan. Kini, dia seolah-olah bebas dari tembok beton yang membatasi ruang geraknya.

Rendra mengerti sekarang. Jadi, ini penyebab sahabatnya itu bersikap lain dari sepatutnya. Mendengar permintaan maaf dari Radiva, bolehkan ia merasa senang? Kata-kata tersebut bagai vitamin penunjang obat.

Pemuda itu siap untuk melajukan kendaraannya. "Udah, enggak apa-apa. Sana masuk!"

Setiap kalimat mengandung nada perintah, yang keluar dari mulut Rendra, selalu dilaksanakan oleh Radiva. Meskipun terkadang, adanya drama perdebatan ataupun penolakan terlebih dahulu.

Saat di sekolah, Radiva bukanlah murid populer. Bahkan banyak tidak tahu nama maupun orangnya. Selama tiga tahun bersekolah di-SMA tersebut, dia tidak pernah ikut satu pun ekstra kurikuler. Kawan yang benar-benar akrabnya dengannya hanya dua.

Ketika sampai di pintu kelas, Radiva tidak melihat keberadaan kawan akrabnya. Dia melangkah masuk dan mendudukkan diri di kursinya. Hanya ada beberapa orang yang ada di dalam kelas. Menghela napas pelan, lalu mengirim pesan kepada seseorang.

[Assalamu'alaikum, Nad. Kamu enggak masuk, ya?]

Tak lama kemudian mendapat balasan. Nad, ialah salah satu di antara murid SMA Pertiwi Siswi pantang menyerah, untuk mendekati Radiva dan berakhir mereka menjadi teman baik.

Radiva sendiri tak terlalu mempermasalahkan perihal mempunyai teman sedikit. Bukan karena anti sosial. Namun, lebih selektif dalam memilih teman. Dia termasuk dalam golongan introver.

[Wa'alaikumussalam. Iya, lagi males gerak. Sekarang aja aku belum mandi. Rendi masuk enggak?]

Radiva mendesah kecewa. Kemudian mengetik balasan lagi.

[Tau gitu, aku juga enggak. Kelas dua belas banyak yang izin. Kayaknya, Rendi enggak masuk, deh.]

Seseorang di seberang sana tergelak saat membaca balasan dari Radiva. Dari yang tadinya tiduran terlentang, berubah menjadi posisi duduk bersila. Jemari gadis itu bergerak lincah menekan huruf-huruf pada layar HP.

[Kamunya aja yang kerajinan. Kita itu udah ujian nasional. Kalau datang ke sekolah cuma duduk-duduk, terus ngabisin uang jajan. Mending dia di rumah. Selamat menyendiri, ya.]

Radiva mendengkus.

[Eh, tumben banget kamu nanyain Rendi? Ada apa hayo?]

Nadia lekas membalas.

[Tanya aja, kok. Emang kenapa? Enggak boleh?]

[Idih, ngegas! Santai, santai.] Pesan terakhir Radiva tidak mendapat balasan.


-Bersambung


~Bai

Pangeran HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang