Ia berdiri dari kejauhan. Memperhatikan seorang gadis yang sedari tadi gelisah duduk di sebuah kursi usang taman kota. Menilik jam di tangan. Memeriksa ponsel. Ia tidak berani mendekati gadis cantik itu. Perasaan bersalahnya menyelimuti. Perasaan menyesalnya membuat ia merasa enggan menemui. Apalagi untuk sekadar mendekati.
Disana, gadis itu masih ingin coba menanti. Mungkin, seseorang yang telah membuat goresan di hati. Celingukan mencari sesosok yang ia nanti. Lelah. Ia beranjak karena sedari tadi tak kunjung pula orang yang ia akan temui.
Melihat gadisnya mulai akan pergi, ia berlari. Meraih lengan gadis itu. "Maaf, aku telat," ucapnya. Membuat si gadis menoleh. Langkahnya terhenti. "Kamu udah nunggu dari tadi?" sungguh, kalimat yang sangat tidak pantas ia tanyakan.
"Enggak, belum lama," jawabnya membuat sedikit lengkungan di bibir. Jawaban yang bukan sebenarnya. Ia kembali duduk di kursi tadi. "Mau ngomong apa?" tanyanya.
Menghela napas. "Maaf," ucap lelaki itu. Ikut duduk di sebelahnya. "Maaf, udah buat kamu nunggu." Ia tidak berani menatap manik mata yang penuh kecewa namun pura-pura tegar itu.
Gadis itu menoleh, memperhatikan wajah tampan lelaki di depannya itu dari samping. Aku tau maksud maaf kamu, tapi kenapa enggak berani ngomong yang sebenernya aja, sih? Matanya hampir meneteskan air jika saja ia tidak bisa menahannya. Ia mengalihkan pandangan. "Jadi- mau kamu apa? Gimana?"
Ia menoleh memberanikan maniknya menatap gadis itu. Ia salah. Ia tahu. Ia sudah mengecewakan seseorang yang sudah benar-benar mencintainya dengan sabar. Ia juga tahu gadisnya itu tahu apa yang ia lakukan di belakang. "Aku masih mau kamu." Ia meraih tangan itu. Menggenggamnya erat. "Maaf." Lagi-lagi hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
Gadis itu menatapnya dengan mata yang mulai berlinang. Membendung sekuat tenaga air yang mendesak keluar dari pelupuk. Tertunduk. Membuat ia semakin merasa bersalah. Ia sudah membuat luka pada hatinya. Lelaki itu mengangkat dagu gadisnya, mengusap pipi yang mulai dialiri air dari mata yang sudah tidak sanggup menampung.
Dengan masih terisak, ia memberanikan diri memeluk lelakinya yang ia harapkan mau dan bisa berubah.