“Enggak mau! Pokoknya Neng nggak mau tinggal di sini lagi, Bu. Neng mau kita pindah aja.”Aku langsung duduk di kursi sambil menopang dagu dengan sebelah tangan, kesal setelah menerima kabar dari kertas yang tanpa menyentuhnya saja dapat kutebak isinya apa. Surat undangan mantan!
“Ibu lihat sendiri, kan? Untuk apa coba dia mengirim kertas undangan itu padaku?” Lantas aku menunjuk kertas yang teronggok di lantai kamar, setelah tadi kutepis dari tangan Ibu saat menyodorkannya padaku.
“Pamer, Bu. Dia mau pamer. Astaga! Sengaja biar aku semakin teriris-iris!” lanjutku. Kali ini seraya menarik kedua kaki sampai naik dan melipatnya di kursi. Duduk bersila, dengan kedua tangan menopang pipi. “Jahat memang dia, tuh. Tega gitu, lihat aku datang ke pernikahannya?”
Seperti biasa, Ibu pun hanya menggeleng tiap kali melihatku merajuk yang katanya percis anak kecil. Bahkan Ibu tertawa-tawa pelan, seperti tak peduli dengan apa yang aku rasakan sekarang ini.
“Jadi, daripada aku sama Ibu datang ke acaranya ... mending, mulai sekarang kita siap-siap buat pindah rumah aja, Bu.”
“Neng ... Neng. Kamu itu memang aneh, ya?” Ibu melangkah maju sebelum berdiri di belakangku. “Lagian, memangnya gampang pindah rumah? Susahlah!” lanjutnya, sambil memegang kedua sisi pundakku.
“Ya, tinggal jual aja rumah ini, Bu. Terus kita beli cilok. Eh, maksud Neng beli rumah di tempat lain gitu.” Aku merajuk, melipat kedua tangan di dada sambil cemberut. “Aneh apanya coba?”
“Ya, anehlah.” Ibu berdecak, lagi-lagi sambil tertawa. “Kemarin kan kamu sendiri yang menolak lamaran Bian. Lalu sekarang, kenapa macam cacing kepanasan saat tau si Bian mau nikah sama gadis lain?”
Bibirku seketika mengerucut, kesal, walaupun tahu semua itu memang salahku.
“Terus ... soal jual rumah, Neng pikir jual cilok yang sekali keliling langsung habis? Duh, Gusti. Ini anak kenapa ...?"
“Ish ... Ibu! Kenapa jadi Ibu yang ngomel-ngomel, sih? Kan, yang lagi kesel tuh Neng.” Aku langsung beringsut, mengubah posisi duduk sampai bersihadap dengannya.
“Yang ngomel tuh siapa sih? Ibu cuman perintilin masalahnya, biar kamu itu sadar, Neng.”
“Iya. Tapi kan kemarin tuh bukannya aku nolak, Bu. Aku cuman minta waktu. Minta waktu, sampai aku benar-benar siap, Bu.”
“Lah, sama saja atuh.” Ibu tergelak pelan, menertawakanku sudah pasti. “Coba kamu pikir, Neng. Bian kan lima tahun lebih tua darimu. Itu artinya, usia Bian sudah sangat matang. Dan ... di usia segitu matang, kamu pikir Bian bisa nahan keinginannya?”
“Ya, masa nggak bisa nunggu sampai beberapa waktu gitu?” Aku mendongak, melihat Ibu yang masih saja tertawa-tawa kecil.
“Nahan syahwat sampai beberapa waktu gitu? Berapa lama, Neng?” Ibu mencubit pelan pipi tirusku. “Kalau dia bisa nahan, nggak bakal anak orang sampai hamil, Neng.”
“Y-ya, iya, sih. Tapi tetep ajalah, Bu. Dia itu udah bikin aku sakit hati. Dan itu rasanya nggak enak, Bu. Nggak enak banget pokoknya!” Aku kembali pada duduk semula, masih membelakangi Ibu. “Apalagi kalau ingat seberapa lama aku berhubungan dengannya. Masa gara-gara aku minta waktu buat menikah, dia tega ninggalin aku?”
“Jodoh emang jorok, Neng. Sejorok Neng.” Ibu, dengan gaya santainya masih saja tertawa pelan. Ngeselin.
“Apaan coba, malah bawa-bawa Neng?” Aku makin cemberut, kesal karena Ibu terus saja membela Bian yang jelas-jelas ninggalin aku pas lagi sayang-sayangnya.
“Ya, memang iya. Jodoh itu sejorok Neng yang jarang mandi, yang langsung ngubek-ngubek kulkas buat cari makan tiap bangun tidur. Padahal belum cuci muka. Coba kalau rajin, pasti jodohnya nggak bakal mau jauh-jauh dari Neng.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Tetanggaku
Teen FictionSuamiku Tetanggaku. Begitulah yang seharusnya terjadi, karena aku akan menikah dengan Bian setelah menjalin hubungan cukup panjang. Meski tanpa ikatan resmi seperti pertunangan, aku dan Bian kerap membicarakan banyak hal mengenai masa depan. Mulai d...