Bab. 2. Cilok Goang Anti Galau

30 1 0
                                    


“Ini serius si Bian mau kawin?” tanya Kho—teman satu pekerjaanku di mini market milik Pak Dodot—sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah oleh handuk. “Dan ... itu bukan sama lu, Tik? Duh, Gusti. Gue sama Tania baru dapat undangan tadi. Makanya langsung cus kemari buat nanya sama lu langsung.”

“Iya, Kho.” Pelan suaraku saat menjawab pertanyaannya yang bahkan sudah bisa ditebak, begitu aku tahu bahwa merekalah yang datang bertamu hujan-hujan begini.

“Emang lu kapan putus sama si Bian, sih?” selidiknya, seolah tak cukup dengan undangan pernikahan Bian yang sudah merobek-robek jantung hatiku ini. “Kok, gue sama Tania nggak tahu? Malah, gue pikir lu baik-baik aja sama dia.”

“Dah sebulan kayaknya.”

Masih pelan, karena aku sama sekali tak tertarik untuk menaikkan oktafnya. Apalagi kalau cuma bahas si mantan, tutup mulut aja harusnya. Akan tetapi, aku mana bisa mendiamkan makhluk terbawel di kedua sampingku ini?

“Astaga ... kok lu nggak bilang, sih sama gue?” Kali ini Tania, masih teman sepekerjaanku di mini market, dengan nada kesalnya yang cetar membahenol dia pun berkomentar. “Tahu gitu kan, si Bian bisa gue unyel-unyel dulu palanya, Tik!”

“Iya. Kenapa lu nggak bilang, sih?” tambah si Kho, tak sabaran.

“Karena ... gue pikir dia cuma marah, dan bakal minta balikan lagi.” Kali ini suaraku terdengar sedikit nyaring, saat menjelaskan alasan apa yang membuatku enggan bercerita selain kepada Ibu. “Eh, tahunya ... dia malah menghamili anak orang.”

“What? Apa lu bilang?”

Tania langsung berbalik badan sepenuhnya, lalu menaikkan sebelah kaki ke kursi sampai bersihadap denganku. Astaga! Bar-bar sekali dia. Namun, belum sempat aku menanggapi keterkejutannya itu, Kho pun melakukan hal sama sampai membuatku yang duduk di tengah-tengah mereka bingung harus melihat ke arah mana.

“Gue nggak salah denger, 'kan?”

Si Kho mendesak, pake segala menarik-narik tanganku lagi. Padahal, yang harusnya kesel, marah dan sableung kan aku. Kenapa jadi mereka yang riweuh coba?

“Nggak, kalian nggak salah denger, kok. Orang Bian sendiri yang bilang sama gue minggu kemarin. Makanya, acara pernikahannya mendadak banget.”

Sampai di sini, aku tak lagi dapat menahan sesak. Jujur, rasanya seperti makan ice cream ... terus, tiba-tiba ice creamnya jatuh karena ketiban bola. Apes! Apes seapes-apesnya.

“Astaga naga ... gue nggak nyangka sumpah.” Tania langsung menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendengkus. “Setahu gue, selama Bian sama lu ... dia alim-alim aja, 'kan? Terus, kok bisa tiba-tiba begitu?”

“Lu kaget, Tan?” tanyaku, sambil mengelap ingus yang mulai naik turun gara-gara menahan tangis.

“Iyalah!” Tania berseru lantang, kesal kurasa.

“Apalagi gue, Tan! Bayangin aja. Kagetnya, tuh udah kek kesetrum listrik bermuatan tinggi tauk.” Pecah sudah air mata yang sedari mereka datang aku tahan. “Malah nggak hanya itu. Abis kesetrum, gue berasa ketiban tangga, genteng, abis itu gentong aer. Bayangin, Ta. Bayangin ...!”

“Ya Allah ... kasihan bener nasib sahabat somplak gue ini. Tolong beri dia ketabahan seluas samudera Ya Allah. Beri dia jodoh yang lebih kaya dari Bian juga Ya Allah,” timpal Tania sambil mengangkat kedua tangan. “Biar bisa beli genteng sama gentong aer yang jatoh lagi.”

Astaga? Tapi ... Aamiin, deh.

“Eh ...,” lanjutnya tiba-tiba, sambil kembali duduk tegak. Tania menyipit, membuat mata sipitnya itu semakin sipit. Sementara alisnya yang lebat hampir bertaut. “Kata ibu, lu maksa-maksa mau pindah. Seriusan?”

Suamiku TetanggakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang