あ
る
男
━━━━Amalthea terbangun di pagi buta, keringat dingin membasahi tubuhnya. Matahari belum terbit, membuatnya tetap di tempat tidur. Beruntung, malam sebelumnya teman sekamarnya sudah terlelap saat dia menyelinap kembali. Jadi, tak ada seorang pun yang memergoki.
Dia merasa sangat berterima kasih pada teman sekamarnya yang telah menunjukkan pintu-pintu rahasia di asrama.
Saat ini hening, hanya bayangan lelaki dari malam sebelumnya sedang menghantui pikiran Amalthea. Mata lelaki itu penuh kesedihan, seolah kehilangan sesuatu yang berharga. Tangan lelaki itu, yang Amalthea ingat dengan jelas — putih dan halus seperti marmer murni, begitu indah dan memikat. Dia cepat-cepat menggeleng, tak tahu siapa atau apa lelaki itu. Mungkin ada yang berubah, mungkin desas-desus aneh di sekolah mulai terasa nyata.
Tapi, bisakah Amalthea bertanya pada lelaki itu lagi? Ia bahkan tak tahu kapan akan bertemu dengannya, atau apakah sosok itu hanya ilusi, bayangan yang terlahir dari pikirannya. Mungkin seseorang telah membuka kunci dan tak memberi tahu pihak sekolah — itu pasti lebih masuk akal.
Namun Amalthea tahu, pintu yang terbuka sendiri bukanlah halusinasi. Itu berarti lelaki itu nyata.
Ketika teman sekamarnya bergerak dalam tidurnya, Amalthea tak terlalu memikirkan hal itu. Tapi mungkin ia harus berhenti menilai apa yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.
"Tidak," pikirnya. Ia harus tahu siapa lelaki itu dan mengapa dia menguncinya. Meskipun lelaki itu menyebalkan, kasar, dan sedikit kejam, Amalthea tak bisa mengabaikannya. Terutama soal pertemuan mereka di ruang keempat.
Amalthea membalikkan tubuh, menatap teman sekamarnya yang masih terlelap di sisi lain ruangan. Napasnya lembut dan tenang. Dia menghela napas, tak berniat menggerakkan tubuhnya. Tidur tampak mustahil saat ini.
Akhirnya, Amalthea memutuskan untuk bangun. Perlahan, ia duduk tegak, tulang punggungnya terasa kaku. Menanamkan kakinya kuat di lantai, ia berdiri. Matahari mulai naik lebih tinggi di langit, namun di dalam dirinya seolah masih ada ribuan perasaan terpendam.
Amalthea membuka lemari, meraih seragam yang sudah tak asing lagi di tangannya. Begitu menemukannya, ia segera melepasnya dari gantungan dan bersiap-siap.
Fajar menyingsing. Setelah mengenakan kaos kaki dan sepatu, ia berjingkat menuju pintu, suaranya nyaris tak terdengar. Saat hendak membuka pintu, sebuah suara menghentikannya.
Amalthea menoleh, melihat teman sekamarnya, Audie, yang sudah bangun dan mengerang pelan.
“Thea, kemana kau pagi-pagi begini?” Audie menguap.
“Pergi sarapan,” jawab Amalthea cepat.
"Sepagi ini?"
"Ya. Ada yang kau butuhkan?" tanya Amalthea dengan sopan, seperti adik kelas yang menghormati kakaknya. Dia menunggu jawaban Audie sebelum memutar kenop pintu.
"Jangan khawatir, aku akan segera bersiap. Tak perlu menungguku," kata Audie sambil menguap lagi, tubuhnya melingkar di balik selimut.
Amalthea menutup pintu dengan pelan dan mulai melangkah di lorong, kakinya menggemakan langkah ringan menuju sekolah, meninggalkan keheningan di belakangnya.
Pagi itu berjalan tanpa kendala. Setelah sarapan singkat, Amalthea memutuskan untuk berkeliling sekolah. Kebanyakan guru dan siswa sibuk di dalam gedung, membuat suasana di luar terasa lengang.
Di kejauhan, dia melihat sosok yang bersandar pada bangunan.
Tidak. Tunggu, ada beberapa sosok.
Semakin dia mendekat, hawa dingin merambat di punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twilight Sonata: The Legend of Room 4-D
Mistério / Suspense【トワイライト ━ ソナタ】 ⠀⠀𝚃𝚆𝙸𝙻𝙸𝙶𝙷𝚃 𝚂𝙾𝙽𝙰𝚃𝙰: 𝚃𝙷𝙴 𝙻𝙴𝙶𝙴𝙽𝙳 𝙾𝙵 𝚁𝙾𝙾𝙼 𝟺-𝙳 ⠀⠀𝗔𝗱𝗮 sesuatu yang aneh tentang piano di ruang 4-D. Tidak ada yang menyentuhnya selama lebih belasan tahun. Tidak setelah insiden yang diduga menjadi lege...