Dibawah jutaan bintang dan sebuah rembulan yang terlihat bagai lukisan di langit serta diatas rumput hijau yang terasa basah. Dia berdiri dengan setelan jas berwarna senada dengan dress selututku. Mata sebiru lautan itu menatapku dengan berbinar-binar. Rambut biru pucatnya disisir rapi dominan ke samping kanan. Dia terlihat bahagia. Aku berjalan mendekatinya, berdiri dihadapannya.
"Maukah kamu menari denganku?" Kuulurkan tanganku padanya. Dia menerima dengan sepenuh hati dan sebuah senyuman manis terpatri. Kami menari bersama diiringi lagu irama lambat. Waktu seakan terhenti, membiarkan kami menghabiskan sepanjang malam hanya untuk menari bersama dibawah bintang yang menghiasi langit kesepian. Kami seakan menjadi karakter utama dalam dunia luas ini dan yang lainnya hanyalah karakter sampingan saja.
Saat kukedipkan mataku, dia berdiri didepanku dengan kedua tangan entah menghalangi atau melindungiku. Pakaian serta rambut biru sepucat bulan purnamanya terlihat berantakan. Satu hal yang kutahu, suasana berubah. Segalanya tiba-tiba berubah sunyi. Lagu yang sempat terputar langsung terhenti. Sekelilingku penuh dengan barang yang sebelumnya tertata rapi, berserakan. Dia menoleh hanya untuk mengucapkan sebuah kalimat yang tidak bisa kudengar sebelum akhirnya jatuh dipelukanku. Tubuhnya terasa dingin. Kudekap dirinya erat-erat berharap semuanya hanya sekedar mimpi buruk. Sayang sekali, rasa sakitnya terasa sungguh nyata bagai ratusan bilah pisau yang menikam dada. Matanya perlahan terbuka untuk yang terakhir kalinya, tangan kanannya mengusap wajahku.
"Takdir ataupun hanya kebetulan, untukku bertemu denganmu adalah hal terindah yang bisa kuwujudkan"
Matanya tertutup. Sebuah senyuman masih terlukis di wajah damainya. Kupeluk tubuhnya berharap ada sebuah keajaiban. Sayangnya, ini dunia nyata dan keajaiban hanyalah rasa pengasihan dari takdir. Sekali kehilangan, aku kehilangan dirinya untuk selamanya.
"Apa yang kau lakukan?" Aku menoleh mendengar suara yang memanggilku, masih dengan posisiku yang sama. Wajah mereka terlihat khawatir dengan sebuah senyuman getir. "Dia sudah tiada. Berhentilah berharap."
Tidak. Mereka berbohong. Dia masih ada didekapanku, kan? Ah, siapa yang kubohongi...dia tidak ada. Tidak pernah ada. Tangan ini hanya memeluk kekosongan. Kekosongan yang berisi sebuah harapan bahwa dia nyata.
"Maukah kamu menari bersamaku untuk yang terakhir kalinya?" Dia berdiri didepanku. Wajahnya terlihat bahagia menunggu jawabanku. Aku merindukan dirinya, sangat merindukannya. Aku bangkit dan menerima uluran tangannya. Sekitarku langsung berubah. Ada sebuah ruang dansa dihadapanku. Dia menarikku pelan ke tengah-tengah ruangan.
Lagu yang sempat terhenti kembali terputar walau terdengar samar ditelinga. Kami menari diatas langit-langit penuh harapan yang sekedar omong kosong belaka, dibawah karpet jarum kenyataan pahit yang nyata. Kami menari, berusaha melupakan semuanya dan memulai sesuatu yang baru bernama mimpi. Memulai sesuatu yang bahkan tidak ada disana sejak awal.
Hiraeth (n.) : A home sickness for a home you can't return to, or that never was .
KAMU SEDANG MEMBACA
Poems & Thoughts
RandomBerbagai perasaan dan ide yang tertuang dalam sebuah karya tulis.