1 - Pria Tua Pemakan Bangkai

281 56 47
                                    

Retakan cangkir yang jatuh ke tanah membuat seruan Tuan Vincenneas menggema di seluruh selasar lantai dua. Ia menatap Hairo dengan nanar, memancarkan api kemarahan dari sepasang netranya yang sudah nyaris sepenuhnya terselimut ruam keriput.

Hega baru kembali dari gereja saat susunan kalimat kasar keluar dari bibir pria tua itu, menghakimi Hairo tanpa henti. Perkara ketidakinginannya memiliki seorang anak perempuan, kehadiran Hairo tidak pernah membuatnya senang. Gadis itu bahkan menahan napasnya saat ayahnya mendekat, mulai kehilangan kebahagiaan saat tahu Tuan Vincenneas akan menetap di Milan untuk dua minggu. Pasalnya, pria itu tidak biasanya pulang untuk waktu yang lama. Ia akan selalu sibuk mengurus bisnisnya dan bepergian ke beberapa bagian Eropa dan Asia.

"Permisi, Tuan,"

Sialan. Matilah ia jika Tuan Vincenneas tahu ia baru kembali dari daerah Selatan Roma. Bangsawan ini adalah Fasis yang tidak percaya dengan nilai spiritual. Sudah sejak lama Hega ingin meminta dan datang ke gereja Roma, namun, jika Hairo saja bisa ia habisi, maka konsekuensinya akan ditingkatkan menjadi sepuluh kali lipat bagi Hega.

"Kau datang hari ini?" Ia menaikkan gagang kacamatanya agar benda itu terletak tepat di lipatan daun telinganya. Keningnya mengkerut, begitu pula dengan matanya yang menyipit.

"Ya, Tuan. Saya kira Tuan akan berangkat ke Spanyol?" Hega membungkuk, bertahan untuk beberapa detik sebelum kembali menyasar penglihatan pria itu untuk diadu dengan inderanya.

"Sejak penekanan Jerman terhadap Italia, Spanyol tidak begitu ramah menyambutku." Senyum miring yang ia tarik menampilkan dengan jelas bekas luka panjang di bawah bibirnya.

"Mereka tidak bisa menolak kehadiran orang sehebat Anda, My Lord. Mereka akan menyesal tidak mempertimbangkan kedermawanan hati Anda."

Tawa renyah yang menciptakan resonansi selama beberapa detik dalam ruangan akhirnya berhenti. Beberapa tepukan kecil terlayang di pundak Hega. "Alasanku tidak pergi adalah kehadiran Viscountess Prancis ke Milan. Mereka mengirim putri mereka karena invasi Jerman ke Prancis sudah terdengar."

"Maksudnya?" Hega berkedip beberapa kali, tidak mengerti.

"Akan ada pertempuran lanjut setelah Perang Phoney di Prancis."

Tuan Vincenneas berbalik, kembali merasiokan api dalam netranya pada warna pucat di bibir Hairo. "Bersiaplah. Sore ini mereka akan datang, jangan membuatku malu." Dengan begitu, ia melangkah dengan gontai, keluar dari ruangan.

"Pria tua pemakan bangkai." Tangan gadis itu mengepal keras. "Itu, kan, yang kau tulis soal ayahku?"

Sorotan tajam mata Hairo berubah menjadi lebih lembut saat Hega menarik tangannya, membawanya duduk di kursi di samping jendela.

"Bagaimana kebun Hydrangea milikmu?"

Hairo menghela napas, memerhatikan pemandangan kebun gandumnya dari atas. "Kau bilang mereka akan tumbuh menjadi merah muda! Kurasa mereka mulai biru,"

"Mereka dapat berubah warna, jika tanahnya asam, maka mereka akan menjadi biru." Hega tersenyum, menatap lurus ke arah Hairo. "Biru juga bagus."

"Aku ingin yang merah muda."

"Hortensia biru juga bagus."

"Mereka mulai mekar di pekarangan. Aku takut, jika musim dingin datang, mereka akan mati."

"Ya, itu tidak akan lama lagi."

"Tuan," Hairo meraih sebelah telapak tangan Hega, menggenggamnya erat. "Aku ingin membacanya lagi. Pria tua pemakan bangkai. Itu soal ayahku, kan?"

"Kau membuka buku prosaku tanpa izin?"

"Ya." Hairo melepas genggamannya. "Dan aku suka yang satu itu. Ayo, bawakan itu di hadapanku."

the world was ending but we kept dancingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang