02. at War With the Past

11 2 0
                                    

🎧Heize – Round and round

Menjadi anak pertama—dan menjadi tunggal satu-satunya dikeluarga, bukanlah perkara mudah yang harus Jihye hadapi. Waktu usianya baru menginjak angka lima, Jihye pernah bertanya pada Mama, "Ma, boleh tidak, Jihye punya adik?" Dan, sedetik setelah Jihye berhenti bicara, si Mama tersedak mie dingin yang sedang ia lahap bersama putri kecilnya tersebut. Jihye bahkan sangat terkejut kenapa, si Mama seperti kaget mendengar pertanyaannya.

Tetapi, alih-alih tidak mau ambil pusing, Jihye kecil mengguncang tubuh si Mama dan memaksa minta jawaban, "Boleh, ya ma—boleh, ya?"

Saat itu, Mama mendadak hilang nafsu makan. Tetapi, melihat wajah buah hati kesayangannya yang menunjukkan secercah binar bahagia membuat Mama merasa tidak tega, hati Mama itu selembut sutra, namun, permintaan Jihye kecil tidak bisa dikabulkan seperti apa yang Jihye harap kan. Bukannya menjawab, Mama mengalihkan pembicaraan, "Jihye sayang, setelah makan cuci tanganmu dan temani Mama ke minimarket, ya."

Kedua manik Jihye semakin bersinar layaknya sinar matahari yang baru saja menampakkan dirinya pada pagi hari, secepat kilat melupakan topik pembicaraan mereka, Jihye mengangguk antusias dan menjawab, "Ayo! Kita pergi. Oh ya, nanti Jihye mau beli yoghurt yang banyak, ya, Ma!"

Jika diingat-ingat kembali, Jihye tertawa tanpa arti, merutuki dirinya yang terpancing dengan omongan manis, Mama saat itu. Padahal, jika dipikir-pikir, hidup Jihye akan sedikit terasa manis dengan adanya malaikat kecil lain yang akan dia panggil dengan sebutan 'adik'.

Lalu, ketika umurnya semakin bertambah, dan beban hidup semakin terasa berat—maka, setidaknya Jihye akan punya teman cerita untuk mendengarkan seluruh keluh kesah yang ia rasakan. Tidak selalu merasa kesepian ketika Mama meninggalkannya sendirian di rumah—sebab pekerjaan Mama juga tidak bisa ditinggal dan bersedia direpotkan manakala Jihye butuh sesuatu.

Jihye tertawa singkat. Mimpi. Bahkan, sampai detik ini, Jihye sendiri tidak mengerti alasan Mama tidak mau menambah anggota keluarga sebab apa.

Menghela nafas sedalam mungkin, menatap langit sore dari balik jendela dengan sekelumit getir serta angan yang terbang—terhempas tertiup angin sore, Jihye kembali menjelajahi kenangannya satu persatu.

Berandai-andai, seandainya Ayah Jihye dan Ayah Jongseong tidak menjadi korban tabrakan maut yang terjadi beberapa tahun lalu, maka—kemungkinan besar, dua anak manusia tersebut tidak akan membangun benteng tinggi nan besar diantara keduanya.

Mereka tidak menyalahkan takdir, tetapi mereka menyalahkan satu sama lain.

"Ayahmu pembunuh! Kalau saja Ayahku pergi dan tidak semobil dengan Ayahmu, pasti dia masih ada disini bersamaku dan Mama!"

"Ayahku bukan pembunuh! Ini murni kecelakaan! Kenapa kau malah menyalahkan ku, Yeon Jihye!??"

Jihye ingat betul, bagaimana mereka berdua terbakar ego masing-masing, mencari-cari kebenaran meski pada kenyataan— kebenaran tersebut berada didepan mata. Tetapi, anak selabil Jihye dan Jongseong terlalu keras kepala. Hingga membuat kedua Ibu mereka terpaksa memisahkan keduanya.

"Aku bukan siapa-siapamu lagi! Jadi tolong pergilah dari hadapanku. Dan—jangan anggap aku sahabatmu, Park bodoh!" Tak peduli dimana dia berada, Jihye betul-betul tersulut emosi. Begitupula Jongseong.

Beranjak dewasa, perlahan Jihye sadar—dan merutuki kebodohannya. Bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa manusia hindari. Harusnya Jihye tidak mengikuti iblis yang ada di kepalanya. Kalau saja, minta maaf itu mudah mungkin tanpa tahu malu, Jihye akan mendatangi rumah Jongseong dan meminta maaf tanpa mengingat apa yang sudah ia perbuat.

Tetapi, sejelek-jeleknya sikap Jihye, dia bukanlah sosok yang mau mengemis maaf dari seseorang. Ia hanya perlu waktu, dan Jongseong pun perlu waktu untuk sama-sama saling membuka diri lagi. Mereka hanya salah dalam mengambil tindakan.

"Jangan salahkan siapapun, Jihye–ya." Jihye memejamkan matanya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terbawa suasana, sebab Mama tiba-tiba menghampirinya tanpa mengetuk pintu kamar.

"Mama tahu, apa yang kamu pikirkan." Mama tersenyum, menangkup pipi tirus putrinya, menatap sepasang jelaga kelam Jihye dengan penuh perasaan. "Perlahan, semua akan membaik. Kita hanya perlu waktu untuk kembali membuka diri masing-masing,"

Jihye sudah menduga dan mewanti-wanti diri sebelumnya. Walaupun Mama bukan cenayang, tapi kalau sudah melihat Jihye melamun didepan jendela kamar, maka tandanya, ada yang sedang Jihye pikirkan. Jihye mulai resah—merasa tidak nyaman, lalu ia mengalihkan pembicaraan, "Mama baru sampai? Mandi saja dulu, nanti aku buatkan kimchi."

Sekali lagi, Mama tahu apa yang Jihye rasakan dan apa yang Jihye pikirkan, gadis Yeon sama sekali tidak nyaman dengan topik pembicaraan ini. Jadi, Mama hanya mampu membelai rambut cokelat Jihye dan mencium kening sang gadis. Jihye tersenyum tipis, setelah memastikan Mama keluar dari kamar ia mulai menutup jendela kamar, sebab matahari mulai tenggelam.

Tidak tahu apa yang ia pikirkan, namun sebelum langit kian menggelap, Jihye tersenyum pada langit dan mulai menutup rapat jendela kamar.

Berdamai dengan masa lalu, adalah jalan terbaik yang akan membawa mu pada kebahagiaan-kebahagiaan lainnya.

🎀🎀🎀

Jongseong tidak punya hobi apapun selain bermain game online dan menghabiskan setidaknya satu bungkus rokok dalam satu hari. Kebiasaan kedua memang tidak bisa ditolerir, namun Jongseong merasa tenang dan damai manakala kepulan asap berserakan di udara—tepat dihadapannya. Jongseong pernah membaca disalah satu buku bahwa, manusia dapat memiliki begitu banyak alasan untuk tersenyum, lalu lanjutkan dan temukan sekarang alasan itu. Namun, setelah membaca sebait kata tersebut, Jongseong agaknya hanya dapat tertawa hambar bersama kepulan asap yang menemaninya.

Menurut Jongseong, ia tidak dapat menemukan alasan apa yang membuatnya bahagia di dunia. Justru pemuda tersebut sempat berpikir, jika Tuhan memberinya kesempatan hidup hanya untuk semakin membuatnya tersiksa.

Persepsi bodoh. Tapi di satu sisi, Jongseong merasa separuh raganya hilang, tepat disaat Jihye menyatakan jika keduanya bukan lagi sahabat. Miris. Sakit, memang. Harusnya Jongseong saat itu memberanikan diri untuk memeluk dan menenangkan Jihye. Sangat disayangkan, Jongseong terlalu kaku dan memilih menuruti egonya.

Ada sekelumit rindu yang bersarang dihati Jongseong untuk Jihye. Jongseong mungkin hanya berani jujur pada dirinya sendiri, tapi tidak dengan yang lain.

Anggap saja Jongseong menghancurkan harga dirinya sendiri.

Menatap langit gelap kosong dari atas rooftop rumah. Membuat Jongseong merasa semakin tenang. Rokok yang ia hisap sedari tadi pun habis tanpa sisa. Langit malam menjadi saksi bisu untuk mencari kebahagiannya.

Apa perlu berdamai dengan masa lalu?

🎀🎀🎀

Annyeong, ada yang nungguin gak yaaa?

Ini masih anget, buruaaannnn bacaaaa🤧🤧

Ini masih anget, buruaaannnn bacaaaa🤧🤧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jodoh orang manis banget, ngikkk🤧

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stay AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang