Atiya berjalan menyusuri koridor sekolah sambil celingukan hanya untuk menemukan seseorang, Galih Abhizar. Di lapangan tidak ada, di belakang sekolah juga tidak ada, apa dia ada di lantai dua ? Ah, tidak. Harusnya aku mencarinya di ruang guru, tapi ruang gurunya dimana, ya? gumam Atiya sambil terus berjalan tanpa membperhatikan langkahnya dengan benar.
Bruuukkk!!
Ia jatuh terduduk setelah menabrak sesuatu yang keras dan tinggi. Atiya memegangi kepalanya yang terasa sedikit pusing dan mencoba untuk berdiri. Begitu gadis itu dapat mengontrol kembali keseimbangan tubuhnya, ia mendongak untuk melihat apa yang telah di tabraknya.
"Ternyata manusia," batin Atiya. Ia memalingkan wajahnya begitu mendapati tatapan tajam dari pria yang ia tabrak.
"Kenapa tidak gabung sama teman-temanmu?" tanya pria itu dengan suara yang terdengar mengintimidasi.
"Ya ?"
"Apa aku harus mengulang pertanyaanku ?"
"Tidak. Tidak, itu ... anu. Saya mencari ruang guru, kak," Atiya berusaha bersikap sesopan mungkin pada pria yang telihat menakutkan itu.
"Ruang guru? Teman-temanmu berkumpul di aula. Ikut aku."
Atiya tak punya pilihan lain selain mengikuti pria itu. Toh, ia juga tak tahu harus mencari Galih kemana. Diam-diam Atiya memperhatikan pria asing itu dan bertanya-tanya sehebat apa dia sampai bisa bersikap segalak itu.
Begitu tiba di aula, pria itu memberi kode pada Atiya agar ia duduk di salah satu kursi kosong yang tersedia. Namun, Atiya sama sekali tak menangkap kodde itu dan malah terus mengikuti si pria asing sampai ke atas panggung. Seluruh mata sontak tertuju padanya.
"Woy, Res. Ngapain lo ngajak tu anak naik ?" tanya Damian dengan nada berbisik.
Ares yang tak menyadari bahwa Atiya masih mengikutinya, sontak berbalik dan menatap lurus ke arah Atiya. Tak ada raut terkejut di wajah pria itu. Hanya ada ekspresi datar dan tatapan dingin yang mempu membuat bulu kuduk Atiya berdiri seakan baru saja melihat hantu di depan mata.
"Aku kan nyuruh kamu tadi duduk," ucap Ares dingin.
"Kapan?" tanya Atiya bingung.
Ares pun memeragakan kembali kode yang ia berikan pada Atiya tadi dengan menoleh ke arah kursi kosong yang berada tepat disebelah kanannya, kemudian sedikit mengangkat dagu dan kembali menatap ke arah Atiya. Gadis itu balas menatapnya bingung.
"Jadi ?" tanya Atiya lagi.
"Lo disuruh duduk, bego, " ujar Ziya.
Raut bingung Atiya seketika berubah. Ia menepuk udara, kemudian bergegas mengambil tempat di kursi kosong yang tadi dimaksud Ares. Tawa Damian pecah melihat tingkah Atiya. Atiya menatap Damian sambil tersenyum, tak tau harus merespon apa. Ziya hanya mampu menepuk jidat tak percaya, sementara Ares dan Zidan bersikap tak peduli.
***
Di tempat berbeda, terlihat Ulya tengah menatap suaminya tajam. Suami yang dulunya ia bangga-banggakan, kini tengah bercumbu rayu dengan sekretarisnya sendiri di ruang kerjanya. Sontak Daffin mendorong tubuh Syaza agar menjauh darinya begitu ia menyadari kehadiran sang istri yang entah sejak kapan berdiri di pintu masuk.
Syaza mundur beberapa langkah, kemudian menoleh untuk melihat apa yang membuat bosnya itu terkejut. Betapa tak tau malunya wanita itu, bukannya menyembunyikan wajah, ia malah berbalik dan bersikap seakan menantang.
"I--ini gak seperti yang kamu lihat, sayang," ucap Dafin gugup.
Pria paruh baya itu beranjak dari kursinya, kemudian berjalan menghampiri Ulya. Namun, dengan lancang Syaza menghentikan langkah Dafin. Wanita itu menatap Ulya sinis. Ia merangkul lengan Dafin seakan menunjukkan bahwa lelaki itu sekarang adalah miliknya.
Pikiran Dafin seketika menjadi kalut. Ia tak menepis tangan Syaza yang semakin merangkulnya mesra, tapi juga tak ingin membuat Ulya salah paham.
"Jadi, apa yang coba kamu katakan dengan bersikap seperti ini? " tanya Ulya tenang.
"I--itu ...," Dafin terlihat kesulitan memilih kata yang tepat untuk dikatakan pada Ulya.
"Kami akan menikah," ujar Syaza cepat.
Mata Ulya bergetar. Ia menatap Dafin tak percaya. "Kamu mau cerai, mas? Setelah 20 tahun, kamu mau cerai? " tanyanya penuh penekanan. Ia maju beberapa langkah untuk melihat jelas ekspresi Dafin saat itu.
"Tch! Kalau udah keriput siapapun pasti mau ce--"
"Mbak, saya bertanya pada suami saya, bukan pada anda."
"Tidak. Bukan begitu. Aku tidak mau cerai, tapi ...."
Jawaban Dafin benar-benar membuat Ulya kecewa. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa dulu ia begitu jatuh cinta pada pria brengsek seperti Dafin. Ulya berbalik dan memilih meninggalkan Dafin dan wanita itu. Dafin bahkan tak mencoba untuk mengejar istrinya.
***
Begitu tiba di rumah, Ulya meraih koper yang ia letakkan di atas lemari, kemudian memasukkan semua pakaian yang tertangkap pandangannya ke dalam koper. Mata Ulya terlihat berkaca-kaca, sepertinya ia telah menahan air matanya sedari tadi. Ia berusaha terlihat tegar, tapi jauh di lubuk hatinya, ia merasa sakit. Sakit telah dikhianati oleh orang yang paling ia cintai.
Sesak.
Air mata mulai mengukir jejak di atas wajah cantiknya. Lututnya terasa lemas, sehingga ia memilih duduk di lantai dan tanpa peringatan, air matanya mengalir semakin deras. Wanita itu menangis tersedu-sedu.
"ULYA!!" terdengar suara teriakan dari lantai bawah.
Semenit setelahnya, sebuah langkah kaki terdengar mendekat begitu cepat ke tempat dimana Ulya saat ini berada. Dengan cepat, Ulya mengusap air matanya kasar, kemudian memperbaiki posisi duduknya, berusaha tak terlihat menyedihkan di hadapan orang lain.
"Ulya. Hohs, hosh." Dafin muncul dari balik pintu.
Pria paruh baya itu menarik napas dalam, lalu menghampiri Ulya dan mencoba menjelaskan dengan benar apa yang terjadi di kantor pagi tadi. Ulya menepis tangan Dafin ketika ia mencoba menyentuh pundaknya.
"Kamu salah paham. Syaza hanya mencoba membantuku," ucap Dafin hati-hati. Sekali lagi ia salah ucap, maka kemungkinan besar Ulya akan benar-benar menuntut cerai darinya dan itu bukanlah sesuatu yang ia inginkan.
"Membantu memuaskan nafsu maksudmu?" sarkas Ulya.
"Bu--bukan seperti itu. Kamu salah. Dia jatuh tadi."
"Jatuh ke pelukanmu?!"
"Akh! Kenapa kamu tak paham juga?" nada suara Dafin naik beberapa oktaf. Ia memukul pintu dengan sangat keras sampai membuat pintu kamar berlubang. Ulya menutup telinganya, karena terkejut. "Aku mencoba menjelaskan disini. Berhenti menyela."
"Apa yang coba kamu jelaskan?" kini Ulya ikut meninggikan suaranya. "Kamu hanya mencoba menutupi keburukanmu dengan sebuah kebohongan. Semuanya sudah jelas. Kamu selingkuh. Seharusnya kamu malu--"
Plaakkk!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Ulya. Ia menyentuh pipinya yang mulai terasa panas akibat tamparan Dafin. Kini mata pria dihadapannya terlihat memancarkan kilat kemarahan. Daffin mengangkat tangannya dan bersiap menampar Ulya sekali lagi.
"Tampar," ucap Ulya lantang. "Tampar aku, hal itu hanya akan mempermudah perceraian kita."
Kilat kemarahan semakin terpancar di kedua mata pria itu. Rahangnya kelihatan mengeras. Tangannya bersiap melayangkan tamparan kedua. Apakah memang akan seperti ini? Apa seharusnya memang seperti ini? Hubungan yang rusak karena seorang pendatang dalam rumah tangga. Hancur tanpa tau harus mempercayai siapa.
Bersambung....

KAMU SEDANG MEMBACA
Tenggelam Dalam Kepercayaan
Teen FictionTerlalu percaya pada seseorang membuatmu lupa bahwa setiap orang punya sisi baik dan buruk yang membuat mereka bisa saja berkhianat. Satu hal yang erat dengan kepercayaan, yaitu cinta. Cinta mungkin terdengar indah dan menyenangkan, tapi terlalu me...