7 years later….
NY terasa cukup panas di bulan Juli kali ini. Meski aku sudah turunkan suhu ruangan hingga menyentuh angka 70 derajat Fahrenheit, tapi tetap saja panas matahari membuat rumah ini bagaikan pemanggang raksasa. Aku duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Aku begitu santai meski ujian masuk perguruan tinggi dilaksanakan beberapa pekan lagi.
Ellenora Amy Mackenzie, or just Ellenora Mackenzie adalah nama yang diberikan ibuku kepada bayi perempuan yang lahir di pertengahan September. Mum senang memanggilku dengan “Elle” atau dengan panggilan kesayangan miliknya “Little Elly”. Aku mengabiskan masa kecilku di Canberra, Australia. Aku tumbuh normal dengan gejala pubertas yang sama seperti kebanyakan remaja. Aku mengalami masa transisi yang sebenarnya tidak begitu sulit, namun aku takkan melupakan reaksiku pada awal terkena siklus menstruasi. I swear this one is the worst thing ever happened in my life.
Aku mewarisi rambut ibuku yang pirang madu. Kulitku cerah dengan nuansa ivory. Aku memiliki hidung tajam dan bibir yang mungil, itu yang aku lihat ketika bercermin. Iris mataku berwarna abu-abu. Tinggi badanku? Entahlah, mungkin sekitar 5’2 ft saat ini. Aku masih akan mengalami pertumbuhan sampai usiaku 20.
“Elly, I’m leaving!” teriak seorang wanita yang terdengar dari radius dekat.
“Yeah!” sahutku.
Itu Ashley, ibu kandungku. Kurasa ia akan pergi membeli bunga, atau bisa juga pergi ke toko pemasok, atau entahlah. Kini dia cukup sibuk.
Aku baru saja pulang dari rumah Mrs. Barbara Smith, orang yang mengajariku les tambahan agar aku bisa lolos ke perguruan tinggi negeri. Ini menyebalkan, harusnya aku tak mengambil sains ketika awal masuk ke sekolah menengah. Hampir 3 tahun, tapi aku masih tetap tak bisa berdamai dengan mata pelajarannya. Benar saja, there is ELLE in excELLEnt, but there is no ELLE in science, so it won’t create an chemistry.
Sementara itu, saudariku yang usianya lebih tua 5 bulan, Jane White adalah sosok yang brilliant. Pagi tadi dia begitu semangat pergi ke New York State Library bersama dengan teman-temannya. Mungkin tak lama, sekitar 10 atau 15 menit lagi ia pasti pulang. Harus kuakui bahwa aku dan Jane ibarat langit dan bumi. Sifat kami sungguh bertolak belakang. Aku sangat ingin tertular virus rajin darinya, tapi tetap saja tak bisa. Awalnya, ia juga akan mengambil sains di SHS*, akan tetapi ia mengubah haluannya secara mendadak menjadi ilmu sosial dan hukum.
(*Senior High School = SMA)Dan asal kalian tahu, Jane kini sudah kembali bangkit. Ia terlihat ceria dan aktif. Aku senang karena akhirnya Jane tidak lagi menjadi patung berjalan yang terus-terusan bungkam raganya ikut terkubur bersama Edward bertahun-tahun silam.
“Oh, look! Janice ‘Bookworm’ White!” ucapku. Ia hanya tersenyum tipis sambil melirik tajam ke arahku. Aku sengaja memberinya julukan ‘Bookworm’ yang kusisipkan sebagai nama tengah Jane.
“Sempet-sempetnya nyantai, huh?” protesnya, aku menyeringai sambil mengunyah chips. Aku tak heran dia kembali dengan tumpukan buku yang membuat otakku mendadak sakit.
Ia berjalan mendekat dan duduk tepat di sampingku. Tangannya merogoh kemasan plastik bertulis POTATO CHIPS itu tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari buku-buku tebal di pangkuannya. Ia lantas meletakkan buku itu di atas meja dan aku mulai mencairkan suasana.
“Scholarship?” ujarku mengawali. Jane mengangguk cepat. Aku lantas menghembuskan napas berat menanggapi responnya yang begitu singkat.
“Kamu nggak ngerasa capek apa gimana…, gitu?” ucapku lagi mencoba menyambung dialog. Jane menggeleng sambil tersenyum. Tetap saja ia hanya menggunakan bahasa tubuh untuk merespon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little White Lie
RomanceMenyebalkan rasanya jika kita harus berbagi orang yang kita cinta. Hal itulah yang terjadi kepadaku. Dan lebih mengerikannya, aku berbagi dengan saudariku, Jane. Namaku Elle, dan ini adalah kisahku. Kami memang bukan kakak-beradik kandung, tapi ini...