0. Ajakan Tante Jolly

17 1 0
                                    

"PAPA! MAMA! AKU KE TERIMA!!!!!!'

Teriakan bahagia ku disambut baik oleh Papa dan Mama, mereka sampai lari ke dalam kamar ku untuk mendengar kabar bahagia itu langsung di hadapan ku. Yang paling kelihatan senang itu Mama, dengan semangat nya beliau ingin ditunjukkan bukti penerimaan ku untuk dimasukan ke grup keluarga.

"Mau berbagi berita bahagia," alibi nya waktu aku meledek nya pamer. Hm, mungkin kalau anak ku memberitahu berita bahagia kaya gini, aku juga akan melakukan hal yang sama.

Sampai malam datang, Papa sama Mama masih tak bosan menceritakan betapa bahagia nya mereka ke Raven, kakak ku yang tiga tahun lebih tua dari ku, sampai pada akhirnya dia protes karena acara makan malam nya terus menerus dihantui nama ku.

"Iya, Ma. Raven tau, Lana masuk kampus bagus. Ya terus kenapa?" protes nya sambil menggigit ayam goreng paha bawah nya dengan penuh emosi. "Lagian kan kampus nya di luar kota. Emang rela ngelepas anak bontot nya merantau jauh-jauh?"

Ucapan Kak Raven membuat senyuman di wajah Papa hilang. Kaya nya Papa baru sadar, dengan diterima nya aku di kampus yang ku impikan itu, berarti beliau harus rela membiarkan ku pergi merantau.

Tiba-tiba, satu kalimat yang bertolak belakang dengan mood nya seharian ini keluar dari mulut nya.

"Kamu ngga boleh kuliah disitu," ucap Ayah yang sontak membuatku tercengang.

Kak Raven terlihat menahan tawa nya waktu melihat ekspresi tak terima ku. Mama pun sama kaget nya dengan aku.

"Yah? Masa ngga boleh sih?" rengek ku dengan ekspresi super kecewa, berharap ekspresi ku bisa membujuk Papa.

Papa menghela napas saat melihat ekspresi ku. Mungkin dia tak tega, karena seharian ini aku dengan perasaan campur aduk duduk di depan laptop ku, menunggu kabar baik, yang syukur nya datang, tapi tiba-tiba beliau tak mengijinkan ku pergi.

"Lan...kampus itu jauh banget dari rumah. Luar kota loh itu? Papa mana bisa ngebiarin kamu merantau jauh-jauh begitu," jawab Papa halus karena mungkin tak mau melukai perasaan ku lebih jauh. Walaupun sebenernya sama aja sih.

"Aku kan udah gede, Pa?"

Of course,

aku udah gede, secara umur. Tapi jujur, secara mental aku juga belum siap sih kalau harus merantau jauh-jauh. Apalagi seumur hidup ku ini selalu berada di bawah pengawasan Papa terus.

Tapi gimana dong? Aku pengen banget kuliah disitu.

"Papa!!"

Bagai hujan deras di tengah kemarau, Mama tiba-tiba mendapat kabar, yang entah apa, tapi aku yakin kabar yang bagus kalau dilihat dari ekspresi wajah sumringah nya.

Papa, aku, dan Kak Raven (yang tadi nya sama sekali tak memusingi kepergian ku) menengok ke arah Mama. Kita semua memandang Mama dengan tatapan, 'ada apa?'

Tanpa basa-basi, Mama membacakan sesuatu yang ada di handphone nya keras-keras.

"Wah! Alana beneran keterima disitu, Kak? Bisa tinggal bareng aku dong! Kebetulan ada satu kamar kosan aku yang beberapa hari yang lalu kosong." Mama menatap ke arah ku, lalu Papa. "Berarti ngga ada alasan lagi dong?"

Papa tersenyum lebar setengah tertawa. "Kaya nya ngga ada?"

homies •svtWhere stories live. Discover now