Satu Hari Bersama Bian

27 4 6
                                    

Bian Bian
Kamu udah kelar kuliah belum? Kelarnya jam berapa? Aku seperti biasa nih, mau jemput sekalian lewat

Aku tersenyum sendiri membaca pesan teks dari Bian. Tentunya, telingaku juga masih mendengar ucapan dosen yang sekaligus menutup kelas sore hari ini. Aku tidak membalas pesan dari Bian, karena ujung-ujungnya dia pasti akan tetap datang.

"Senyum-senyum aja terus, udah kayak apa tahu," tegur teman sebelahku, Ayas. "Fabian ya?"

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. "Kamu pulang sama siapa, Yas?"

Ayas kemudian menaikkan sebelah alisnya dan menatapku heran. "Kok nanyanya gitu sih, Nes? Kamu.. nggak tiba-tiba lupa ingatan karena Fabian kan?"

Aku menggeleng, bingung. "Hah? Maksudnya? Kok jadi Bian?"

Ayas memutar bola matanya malas. Sungguh, sepertinya hari ini pikiranku terlalu bercabang ke mana-mana sehingga melantur ke sana ke maru dan membuat Ayas malas denganku. Aku pun menggoyangkan tanganku di depan wajah Ayas.

"Nessa cantik, ngapain pakai nanya segala? Setiap hari kan aku naik ojek online.. masa kamu lupa? Hah.. jangan-jangan kamu beneran lupa ya kalau aku ini nggak bisa naik motor?" tanya Ayas sambil melipat kedua tangannya, terlihat agak kesal.

Dia pun bangkit dan melirik jam tangannya, disusul olehku yang berdiri dari tempat dudukku tak lama kemudian. "Duh, aku duluan ya, Nes, ada perlu dulu nih habis ini. Hati-hati ya! Kalau Bian macam-macam, bikin kamu nangis, lapor ke aku ya. Oke?"

Aku mengangguk dan melambaikan tanganku pada Ayas yang terburu-buru menuju lift lantai lima. "Iya, iya. Kamu juga.. hati-hati ya."

Bian Bian
Kamu di mana, Nes? Aku depan gedung kamu ya seperti biasa. Agak cepat dong.. aku malu nih dilihatin sama teman-teman kamu terus

"Bian!" panggilku sambil menahan tawa sebab melihat Bian yang hanya duduk di atas motornya, tanpa membuka helm sama sekali dan hanya menunduk. Benar-benar malu rupanya. "Kamu udah lama? Oh ya, kamu beneran nggak apa-apa, Bi, hampir setiap hari jemput aku kayak gini? Aku bisa pulang sendiri kok, naik ojek."

Bian membuka kaca helmnya dan mengangguk. "Nggak apa-apa kok. Lagian rumah kita kan searah.."

"Ya.. walaupun rumahku searahnya harus putar balik dulu sih," sambung Bian.

Aku menggeleng sambil menerima helm dari Bian. "Itu namanya nggak searah, Bian. Besok-besok, kalau kamu emang sibuk ini itu, aku pulang naik ojek aja nggak apa-apa, atau nebeng teman yang lain."

"Eh, kamu udah makan?" tanya Bian, tak lama setelah aku menaiki motornya. Bukan sekali dua kali Bian mengalihkan pembicaraan seperti ini. Tapi, kau tahu.. aku juga tidak enak kalau harus dijemput dia setiap hari walau memang kami ada hubungan spesial.

"Belum," jawabku singkat. "Siang nggak sempat makan, jadi aku cuma makan pas pagi."

Bian langsung menoleh dan menggeleng berkali-kali. "Aduh, ini nggak benar nih. Nggak benar ini, Nes. Masa iya cuma makan satu kali? Ntar kalau sakit gimana? Nggak benar ini, nggak benar."

Aku hanya tertawa melihat Bian mengatakan "nggak benar" berulang kali karena aku melewatkan makan siang. Tadi itu benar-benar nggak sempat, ada banyak yang harus dikerjakan. Sesekali melewatkan makan siang sepertinya bukan hal besar. Bian suka melebih-lebihkan nih.

Satu Hari Bersama BianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang