Harry POV
"Kau lembur lagi?"
"Hmm" hanya gumaman singkat yang ku dapatkan.
"Mengapa tidak mengabariku?" tanyaku tidak menyerah. Tanganku membantu Draco menanggalkan jas kerjanya, lalu dengan cekatan melepaskan simpul dasi yang terikat pada kerah kemejanya.
"Meeting, mendadak" jawabnya datar, bahkan menatapku pun Draco tampak enggan. Aku menghela napas. Lelah, sungguh lelah. Ku lirik jam dinding sekilas, menampakkan waktu yang sudah menunjukkan pergantian hari. Pukul satu lewat sepuluh.
Meeting? Meeting apa? Pikirku.
"Mandilah, sudah ku siapkan air hangat untukmu" kataku, Draco hanya mengangguk. Ku arahkan tangan kananku untuk membelai lembut rahangnya. Gurat-gurat lelah terlihat jelas di wajahnya, sedikitpun tidak mengurangi wajah rupawan miliknya. Mata Draco menatapku. Wajahnya datar, sorot matanya benar-benar dingin, sedikitpun tidak tersisa sorot kehangatan yang biasa ia berikan padaku seperti awal menikah dulu.
"Kau tak perlu repot-repot menyiapkan makan malam, aku sudah makan" aku hanya mengangguk sembari mencoba untuk tersenyum. Draco berlalu dari hadapanku, mengambil handuk lalu melangkah ke kamar mandi.
Aku terduduk di ujung kasur, mengingat-ingat kapan terakhir kalinya aku dan Draco menikmati makan malam bersama. Oh, itu sudah lebih dari dua minggu yang lalu. Aku tersenyum sendu, aku rindu Draco, sangat rindu. Ku arahkan jas kerja milik Draco dalam dekapanku, ku hirup aromanya dalam-dalam untuk menetralkan rasa rinduku. Seketika hatiku mencelos.
Aroma ini lagi? Batinku bertanya.
Ku arahkan jas kerja milik Draco ke arah hidungku, ku hirup lagi guna meyakinkan diri sendiri. Benar, aroma apel manis tercium jelas pada jas kerjanya. Aku tercekat. Ku remas jas kerja yang ada dalam genggamanku, melangkahkan kakiku menuju keranjang pakaian kotor di sudut kamar dan melemparnya asal. Pikiran negatif berkecamuk dalam kepalaku.
Di meja nakas aku melihat sekilas layar handphone Draco menyala, menandakan ada notifikasi masuk. Ku langkahkan kakiku mendekat ke arah meja lalu ku raih handphone miliknya. Terlihat satu pesan dari aplikasi Line miliknya pada layar utama, dengan nama pengirim Astoria.
01.22 a.m.
Draco, terimakasih sudah menemaniku hari ini :)
Mataku memanas. Air mata yang ku tahan-tahan sedari tadi meluncur bebas di pipiku. Tidak, tidak mungkin. Draco berbohong? Batinku berperang. Isak ku tertahan, rasanya sesak sekali, ku pukul dadaku demi mengurangi rasa sesaknya.
Ku putuskan untuk meletakkan kembali handphone milik Draco di tempat semula, lalu ku langkahkan kakiku ke luar kamar menuju dapur. Aku butuh minum, minuman yang dingin untuk mendinginkan kepalaku.
***
Pukul dua lewat empat puluh lima menit, ku putuskan untuk kembali ke kamar kami. Setibanya disana aku melihat Draco sudah terlelap dan posisinya membelakangi ku. Ku arahkan kakiku ke arah kasur, masuk ke dalam selimut, lalu merebahkan badanku di samping Draco.
Ku tatap punggung Draco yang terbalut kaos putih polos. Jauh sekali, nyatanya aku merasa jika Draco sangat jauh akhir-akhir ini, tidak tergapai. Hatiku lagi-lagi merasakan kehampaan yang menyiksa. Ku putuskan untuk mendekat, meraihnya dan mendekapnya dari belakang. Perlahan mataku mulai terpejam.
***
Paginya aku terbangun mendapati tempat di sebelahku telah kosong. Ku raba sesaat, rasanya dingin, selalu seperti ini. Aku meraih handphone ku di meja nakas, melihat satu pesan masuk dari Draco.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
General FictionKetika sesuatu yang menghangatkan telah kehilangan kehangatannya. Bahkan sekuat apapun kau mencoba bertahan dari kehancuran yang menggerogotimu, afeksi itu tidak akan pernah sama lagi. Masa dimana dua insan saling memilih. Satu orang memilih untuk l...