Hari ini hari Sabtu, hari libur akhir pekan. Sudah dua hari sejak kejadian malam itu dan sudah dua hari pula Draco tidak pulang ke apartment kami.
Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Aku menyamankan posisi duduk ku di karpet berbulu, menikmati program acara kartun di televisi sambil melahap sepotong sandwitches tuna, tertawa sekilas jika ada sesuatu yang lucu dalam program acara televisi tersebut.
Tawaku terhenti ketika ku dengar ada seseorang yang memencet pin pintu apartment ku, tak lama kemudian mucul lah sosok Draco dari balik pintu. Aku meliriknya sekilas, lalu pandanganku beralih kembali pada televisi di hadapanku.
"Oh kau pulang? Ku kira kau sudah lupa arah jalan pulang." ucapku sarkas.
Lewat ekor mataku kulihat Draco menatapku sesaat, sebelum kemudian dia meletakkan tas kerjanya beserta dompet, kunci mobil, dan handphone di atas meja ruang tamu. Tangannya dengan cekatan menanggalkan jas kerjanya, melepaskan simpul dasi, lalu membuka dua kancing teratas pada kemejanya.
"Tidak usah repot-repot menyiapkan sarapan, aku sudah sarapan di kantor" katanya, genggamanku pada sandwitches tuna mengerat. Aku terdiam cukup lama.
"Ya. Aku tahu. Aku mengerti" ucapku lirih. Kemudian ku lihat Draco melangkahkan kakinya ke arah dapur.
Selera makanku benar-benar hilang, bahkan program acara kartun di televisi sudah benar-benar terlupakan olehku. Sekilas aku mendengar bunyi 'ting!' pelan dari arah ruang tamu, mataku menangkap handphone milik Draco menyala. Aku bergegas berdiri dari posisiku, berjalan mendekat, lalu menyambar handphone itu dengan terburu-buru. Ku lihat satu notifikasi Line pada layar utama dengan pengirim Astoria, lagi-lagi wanita itu.
09.43 a.m.
Lain kali berkunjunglah ke apartment ku lagi Dray, aku akan memasak semur daging. Kau harus mencoba masakanku yang satu ini, aku memaksa.
"Tidak seharusnya kau memeriksa barang pribadiku seperti itu" aku terkesiap. Refleks, genggamanku pada handphone milik Draco mengendur, membuat benda itu meluncur jatuh ke atas meja dengan bunyi yang cukup keras.
Aku menoleh mendapati sosok Draco berdiri tegap di depan televisi, tangannya menggenggam segelas air putih. Raut wajahnya tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda panik seperti orang tertangkap basah atau apapun. Aku mulai meradang.
"Astoria" kata-kataku tertahan sebentar untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Siapa wanita itu?" tanya ku, sebisa mungkin mempertahankan suaraku agar tidak bergetar.
Draco bergeming, dia menatapku lama sebelum akhirnya memutuskan kontak mata denganku, lalu meletakkan gelas pada genggamannya di atas meja di dekat karpet berbulu. "Aku lelah, aku ingin istirahat" ucapnya sambil berlalu menuju kamar.
"KAU TIDAK BISA PERGI BEGITU SAJA!" teriak ku. Aku sudah benar-benar kehilangan kontrol emosi, bahkan aku sudah tidak peduli sekalipun tetangga kami akan mendengar perdebatan kami. Aku mulai menangis.
"Aku bisa" desisnya lirih. "Aku bisa pergi kemana saja, kau tak bisa melarangku!"
"AKU ISTRIMU!" aku benar-benar murka, air mataku mengalir, wajahku semakin memerah mendapati kenyataan bahwa Draco bahkan tidak menoleh padaku sedikitpun. Dia hanya bergeming. Geming yang benar-benar menyiksa.
Aku berjalan ke arah meja, tempat dimana Draco meletakkan gelasnya. Meraih gelas itu dan membantingnya ke lantai dengan kasar. Berhasil. Sosoknya berbalik menatapku, matanya sedikit terbelalak karena aksi ku. Tanganku gemetar hebat, program kartun di televisi sudah berganti dengan acara gosip tidak bermutu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
General FictionKetika sesuatu yang menghangatkan telah kehilangan kehangatannya. Bahkan sekuat apapun kau mencoba bertahan dari kehancuran yang menggerogotimu, afeksi itu tidak akan pernah sama lagi. Masa dimana dua insan saling memilih. Satu orang memilih untuk l...