1. Lembaran Terakhir di Jakarta

46 3 0
                                    

[ Theme Song: Hampir Jadi by Kahitna ]

KOPI yang diabaikan sejak pagi tadi sudah dingin, dibekukan angin. Kopi itu diabaikannya, sedangkan kedua tangan sibuk menghitung kembali bawaan yang ditaruh di dalam satu koper ukuran sedang dan satu ransel gunung. Di lantai tampak berceceran kertas buram dan HVS tak beraturan, membuat laki-laki itu kembali mengabaikan kopi dan memilih memunguti kertas-kertas itu.

Lembar kepemilikan saham dan properti. Dia menunduk ke lantai, bukan karena kepemilikan saham dan properti yang sudah bukan atas nama Bernardus Senandika lagi, namun kisah di baliknya. Cerita seseorang yang menjungkirbalikkan hidupnya sampai harga diri terlihat mahal harganya. Sebuah trauma yang tak ingin Dika ulangi. Tidak akan. Di Jakarta ini atau di Yogyakarta nanti.

“Dika.”

Lelaki berbadan tegap itu langsung berdiri, buru-buru menata kertas-kertas itu asal-asalan tak ubahnya untuk menyembunyikan. Utas senyumnya ditarik dua centi untuk menyapa Mama-nya yang mengekspresikan lama sekali kamu berkemas-kemas, Dika!

“Sudah?” tanya Mama lagi. Tekanan kekesalannya tak mampu bersembunyi. Sang putra menggendong ransel lalu terhenti begitu melihat tanda salib yang tidak melingkar di lehernya. Dia membuka laci, mengenakan kalung emas putih itu, lalu mendekati Mama.

“Dika sudah siap, Ma. Apa Mama akan baik-baik aja tanpa Dika? 30 tahun, ini yang pertama Mama akan di Jakarta tanpa Dika,” katanya lembut sambil mengusap punggung tangan Mama. Rautnya tampak kasih sayang, mirip seorang laki-laki pecinta hewan yang sedang membelai kepala kucing.

Wanita itu—Kristal Bernadetha—menepuk punggung anaknya. “30 tahun, Mama hanya punya keinginan, kamu tidak lagi terjaga di sepanjang malam.”

“Dika berjaga karena berdoa, Ma,” sahut Dika.

Kristal mennggigit bibir. “Aarelyn kemarin—“

“Perempuan itu bukan Tuhan berikan untukku. Perempuan itu tidak akan menggoyahkanku. Aku percaya Tuhan sangat baik, Ma. Semua lembaran terakhir di Jakarta ini akan Dika lupakan di Jogja. Asal Mama yang nggak sedih.”

Kristal tak bisa tidak menahan diri memeluk putranya. Memberikan tepukan pelan pada punggung lawan peluknya. Kristal tak yakin Dika lebih dari lima tahun ini menanggung bahagia atas dasar rasa sabar, bukan karena betul-betul bahagia. Wanita itu justru akan lega jika tahu putra semata wayangnya menangis, atau marah, atau mengamuk, atau mengutuk, tapi laki-laki itu selalu tersenyum setelah kejadian lima tahun itu. Kristal sudah pernah sengaja diam-diam menyelinap kamar putranya. Tapi tetap saja, Dika yang hobi berjaga itu benar-benar hanya berdoa dengan senyum yang lebar. Senyum yang hambar seolah topeng dari menahan kesakitan.

“Dika, aku Mama-mu. Aku yang melahirkanmu. Aku yang berteriak kesakitan karena memperjuangkan kehidupanmu. Jadi, tolong—“ Kristal menahan isaknya— “Tolong, jika itu sakit, katakanlah sakit. Jika itu membuatmu menangis, tolonglah kamu menangis. Memang kenapa kalau laki-laki kuat tidak menangis, hah? Dika, tidak apa-apa kalau kamu tidak baik-baik saja. Hanya Mama—“ Kristal sudah tak mampu berkata.

Tepukan pelan itu berganti Dika yang memberikan di punggung Mama-nya dan juga mempererat dekap. “Dika memang sakit dan terluka, Mama. Tapi, untuk beberapa orang, sayangnya termasuk Dika, bukan mengekspresikan dengan air mata. Dika tidak baik-baik saja, makanya, Dika senang terjaga.”

ELEGI NANTI SENJA | Cinta Beda AgamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang