G jadi cuap-cuap. Padahal gue mau banget.
***
Napas cowok itu dapat ia rasakan dengan keadaan sedekat ini, apalagi deruan napasnya yang memabukkan, masuk telinga kiri dan menetap di telinga kanan. Mata tajam elangnya, menghunus mata malu-malu miliknya. Menyorot lekat, hingga berefek pada kesehatan jantung. Mata indah itu tak berkedip barang sedetik pun, seolah menatap manik mata hitam miliknya telah menjadi candu. Ah, amat tidak percaya diri jika ditatap seintens itu oleh seseorang yang begitu spesial.
Wajah mempesona cowok itu semakin dekat, tetapi ia suka sekali bermain-main dengan menjauhkan wajahnya seraya menyeringai. Tidak putus asa, cowok itu kambali mendekatkan wajahnya padanya, tetapi hal yang sama terulang kembali. Dan terjadi lagi dan lagi. Hingga membuat cowok itu mendengus, lantas menahan pipi gadis itu dengan tangan berkuku panjangnya supaya ia tidak menjauh.
"L-lo mau apa?" Penuh ketakutan gadis itu berucap, sayangnya tidak mendapat respon.
"AWWW!" Pekikan lolos dari mulut gadis itu karena tertancapnya gigi taring milik Santoso di hidungnya yang minimalis. Kontan ia melempar Santoso ke sembarang arah, lalu sibuk mengaduh kesakitan pada hidungnya
Meong, meong, meong.
"Santoso dungu! Lo mau bikin hidung gue makin pesek?!" umpat gadis itu sembari memegang hidungnya.
Meong, meong, meong.
"Halah, gue nggak mau denger penjelasan lo. Nanti malem nggak ada whiskas, makan sama ikan asin!" murkanya, membuat kucing berbulu hitam dan putih itu menciut.
Meong, meong, meong
Kucing bernama santoso itu mendekat dan menciumi kaki gadis itu, seakan tengah memohon agar dimaafkan.
"Gak usah rayu-rayu gue! Mulai hari ini, lo berak di halaman! Nggak ada WC buat lo!"
Tersungut-sungut, gadis itu tidak memberi ampun pada Santoso, si kucing jantan bermata jelalatan. Sudah habis kesabarannya yang setebal bedak Bu Lurah. Kerap kali ia di aniaya fisik oleh si berandal tidak punya akhlak. Andai ada polisi khusus yang menangani kucing, sudah sejak lama ia menjebloskan Santoso ke penjara.
"NINDI! NIN! BELIIN MAMAK GULA NAK!"
Teriakan dari sang ratu membuat gadis bernama Nindi itu mendengus seraya mencabikkan bibirnya merajuk. Dengan amat geram ia beranjak dari tepi kasur, kemudian melangkah dengan langkah kaki sengaja di hentakkan pada lantai. Mulutnya tidak berhenti komat-kamit, disatu sisi menyumpah serapai Santoso, di sisi lain kesal pada ibunya yang menyuruhnya membeli gula. Warung tujuannya hanya satu, warung Bu Ten --tempat berkumpulnya bapak-bapak, para remaja, dewasa sampai yang pengangguran.
"Apa Mak?" Nindi bertanya meski tahu maksud ibunya. Wanita berdaster bunga-bunga dengan rambut di cepol itu berbalik, mengabaikan cucian piring yang tengah ia lakoni.
"Beliin Mamak gula di warung Bu Ten," ujar Bu Jumainah pada putrinya yang bermuka masam.
"Ih, Mamak! Banyak cowok-cowok lho, malu aku."
"Malu itu ketika kamu pulang malam sama suami orang!"
Kata-kata legend Bu Ju ketika menghadapi anaknya yang susah disuruh dengan alasan klasik. Ibu-ibu tidak pernah merasakan tubuh gemetar, jantung jedag-jedug kala digoda cowok-cowok tidak dikenal di warung. Lain lagi kalau mereka mengeluarkan kedipan mautnya, rasanya ingin menyerang orang-orang itu dengan jurus rasengan.
"Aku malu banget Mak, kadang aku dikatain jelek lho! Kit ati aku tuh." Bukan alibi, tetapi kenyataan yang menyakitkan. Terlalu sering mendapat body shaming, membuat Nindi takut keluar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUE JELEK, LO MAU APA?! (END)
Novela Juvenil(Tamat) Nama Nindya dianggap terlalu indah untuk gadis berwajah buruk. Kadang kala ada segelintir orang yang menyarankan untuk mengubah namanya menjadi nama yang lebih sepadan dengan fisik yang ia punya. Lantas nama apa yang cocok untuknya? Ketika...