Hilluw people! Selamat membaca~~
***
H-1
Fumie meminjam motor Akira pada keesokan harinya. Akira yang selalu penasaran sudah pasti melontarkan berbagai pertanyaan karena gadis itu belum pernah meminjam motornya sama sekali. Namun, jangan sebut Fumie kalau ia tidak bisa mengurus hal kecil seperti itu. Dengan segala alasan yang tentu saja hanya karangan bebasnya, akhirnya Fumie mendapatkan motor Akira.
Salju turun agak lebat semalam hingga menggunung di badan jalan. Terlihat mobil pengeruk es sedang bekerja di seputaran jalan raya hingga kemacetan terjadi selama sepuluh menit. Fumie mengocok gas motor dua kali sebelum melesat di jalan yang telah dibersihkan.
Rencananya ia akan pergi ke rumah neneknya sekedar berkunjung agar tidak dicap sebagai cucu durhaka. Selain itu, ia juga ingin mengorek informasi dari neneknya mengenai keterlibatan bibi Jina dengan Michio. Jika beruntung, ia bisa menemui bibinya langsung nanti.
Fumie memakai outfit serba hitam seperti motor Akira. Helm full face hitam yang terpasang di kepalanya ikut menyembunyikan wajah Fumie. Rambut merah panjangnya berkibar ditiup angin kencang yang bisa saja membekukan air di udara sangking dinginnya.
Fumie hendak membelokkan motor ke gang dimana rumah neneknya berada. Namun bertepatan dengan itu, sebuah Limousin hitam keluar dari gang dan melewati Fumie dengan kecepatan sedang. Fumie mengerutkan dahi. Setahunya gang ini jarang dilewati mobil apalagi mobil mewah seperti tadi. Mata Fumie memicing memperhatikan mobil tersebut dari kaca spion. Ia menghafal nomor plat mobil itu lalu kembali meneruskan perjalanannya.
"Nenek! Aku datang!" seru Fumie setelah melepas helmnya dan turun dari motor. Sepatu botnya meninggalkan jejak di tanah berselimut salju menuju teras rumah sang nenek.
Mata Fumie menajam saat melihat bekas ban mobil yang tercetak jelas di tumpukan salju. Apa itu ban mobil tadi? tanya Fumie dalam hati.
Tak berselang lama, pintu terbuka menampilkan nenek Hao yang terlihat sehat seperti biasanya. Dan untung saja tidak ada sapu terbang hari ini. Sepertinya neneknya sedang tidak ingin bercanda.
"Apa kabarmu, Nek?" tanya Fumie basa-basi.
"Masuklah dulu. Diluar dingin." Nenek Hao membuka pintu lebar-lebar lalu mempersilakan Fumie masuk dan kembali menutup pintu.
"Nenek sendirian?" tanya Fumie seraya mengamati dinding rumah yang penuh dengan foto-foto keluarga. Fumie berhenti saat matanya menemukan sosok Bibi Jina dalam salah satu pigura yang agak besar dari yang lainnya.
"Iya, nenek sendiri. Tapi baru saja bibimu pergi dijemput oleh sebuah mobil hitam. Kau pasti berpapasan dengannya di gang tadi," jelas nenek Hao tanpa curiga sedikitpun.
Fumie menoleh pada nenek Hao yang sudah duduk di sofa. Nenek Hao terlihat sangat cantik dengan baju bahan rajut tebal berwarna pink. Bunga-bunga kecil yang terjahit di sekitaran lehernya pun menambah kesan manis.
"Nenek, katamu, bibi Jina bekerja di perusahaan besar kan? Apa dia masih bekerja disana?" tanya Fumie hati-hati. Dengan santai ia ikut duduk bersama neneknya di sofa. Penghangat ruangan yang ada di sudut ruang mengeluarkan uap panas yang menghangatkan.
"Bibimu memang bekerja perusahaan besar. Kenapa kau bertanya?" tanya Nenek Hao.
Fumie mengulas senyum. "Tidak, Nek. Aku hanya bertanya. Siapa tahu aku bisa bekerja disana juga di masa depan," bohongnya. "Kalau boleh tahu, Bibi Jina bekerja sebagai apa, Nek?"
"Aku tidak terlalu yakin. Tapi bibimu bilang kalau perusahaannya bergerak dibidang ritel. Kau lihat mobil tadi? Itu mobil perusahaannya," jelas Nenek Hao lalu berdiri.
"Nenek buatkan teh dulu ya. Kau duduklah dulu."
"Baik, Nek." Fumie mengangguk patuh.
Setelah Nenek Hao menghilang ke dapur, Fumie bangun lalu berjalan ke kamar Bibi Jina dalam hening. Ia tidak puas dengan informasi yang diberikan neneknya dan akan mencari tahu sendiri dengan masuk ke kamar Bibi Jina yang berjarak dua meter dari kamar neneknya.
Lantai kayu agak berderit saat Fumie menapakinya dengan ujung kaki. Biasanya neneknya akan menghabiskan sepuluh menit untuk menyeduh teh dan menaruh kue kering ke dalam piring. Dan sepuluh menit itu lebih bermanfaat digunakan untuk menjelajah daripada duduk manis seperti tuan putri yang menunggu tehnya diseduh, pikir Fumie.
Sampai didepan pintu geser berbahan kayu yang adalah kamar bibinya, Fumie menggesernya segera dan masuk secepat kilat. Untung saja tidak terkunci, batinnya.
Fumie mengedarkan pandangannya, meneliti setiap sudut kamar. Lemari baju setinggi badan Fumie ditambah tujuh sentimeter berdiri disamping sebuah cermin dinding yang lumayan besar. Selain itu, ada kasur lipat tergulung rapi dibawah meja bundar yang ditebak Fumie sebagai meja belajar.
Tidak ada yang mencurigakan.
Fumie menopang sebelah tangan di pinggang lalu bergerak mengitari setiap sudut. Telunjuknya ia tempeli di atas lemari yang ternyata tidak berdebu sama sekali.
"Bibi Jina cukup rajin membersihkan lemarinya ya." Ujung bibir kirinya tertarik lebar menampilkan senyum kemenangan. Dengan cepat ia meraih meja bundar dan menggesernya mendekati lemari. Tak membuang-buang waktu lagi, Fumie menaiki meja tersebut dan berdecak senang saat melihat sebuah map coklat terletak diatas lemari.
"Kau mudah ditebak, Bibi," timpal Fumie. Mungkin Bibi Jina menaruhnya disini karena mustahil akan ditemukan Nenek Hao yang hanya setinggi bahunya, pikir Fumie.
Tidak ada waktu untuk melihat isi map itu sekarang. Oleh karena itu, Fumie turun dan mengembalikan meja ke tempat semula. Setelah memastikan semuanya kembali normal, ia memasukkan map itu ke dalam jaket hitamnya dan kembali ke ruang tamu.
"Nenek!" pekik Fumie saat bertabrakan dengan sang nenek di lorong yang menghubungkan dapur dengan ruang tamu. Sedangkan untuk menuju ke kamar harus melewati lorong itu juga tapi berbelok ke kiri.
Untung saja Fumie cepat tanggap sehingga nampan berisi kue dan teh itu tidak jadi jatuh ke lantai.
"Hati-hati, Nek." Fumie mengambil alih nampan itu dari Nenek Hao lalu meletakkannya keatas meja.
"Darimana saja kau? Nenek panggil sejak tadi tidak kau dengar?" Nenek Hao kembali menjadi nenek yang cerewet sepertinya. Fumie maklum saja karena usia nenek-nenek itu sangat rentan naik darah.
"Maaf, Nenek. Aku baru saja kembali dari kamar mandi. Perutku sakit hehe," bohong Fumie lagi.
"Sudahlah. Ayo minum saja tehnya. Teh bunga krisan kesukaan ayahmu." Fumie tersenyum getir saat ayahnya disebut Nenek.
Setelah beberapa topik pembahasan seputar rumah nenek, kesehatan nenek serta hal-hal lain yang dianggap penting oleh nenek, Fumie pamit pulang dan berencana pergi ke tempat tinggal Masaru untuk memberitahukan isi map tersebut.
Namun, sebelum itu Fumie akan melihatnya sendiri terlebih dulu. Siapa tahu isinya sama sekali tidak berkaitan dengan Michio jadi ia bisa langsung kembali dan mengembalikannya ke rumah nenek dengan alasan ketinggalan sesuatu.
Fumie berhenti di sebuah tempat sepi di samping jalanan yang sedang sepi. Dengan cepat, ia mengeluarkan map itu dan membukanya. Mata Fumie melebar saat membaca halaman pertama sebuah kertas yang ada didalam map. Selain itu, ada sebuah foto yang terselip didalamnya.
Memang benar Bibi Jina bekerja dengan Michio. Semuanya tertulis dikertas yang ternyata adalah perjanjian antara Bibi Jina dengan pria tua berengsek itu. Namun, yang membuat Fumie cemas adalah foto itu. Foto yang menampilkan tiga sosok laki-laki muda serta tiga orang wanita muda yang duduk diatas kursi didepan mereka.
Fumie membalik foto itu dan melihat tulisan buram yang tercetak dibelakangnya.
Michio, Junho, Matsuoka, Amaterasu, Hao, Maria.
***
Udah part empat puluhan aja nih sampe lupa kalo author belom pernah nyuruh kalian follow. Ayo follow author ya tapi jangan nyuruh back. Soalnya aku follownya random sih.
Luv❤
P.s. aku nyoba fokus ke badgirl biar cepat tamat. Support aku pake komen kalian dong. Pasti aku balas kok. Thanks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad girl
Teen FictionTatsuya adalah seorang berandalan disekolahnya. ia dikenal sebagai cowok terhits sekaligus terfamous sejagad SMA Hillary yang tak lain adalah milik kakeknya sendiri. Ia suka memacari banyak cewek dan sudah menghasilkan puluhan mantan hanya di SMA it...