Aku si itik buruk rupa yang ditinggalkan ibuku. Aku melihatnya bertengkar kala itu, marah dan memukul pria di depannya, laki-laki yang aku pikir ayahku, tapi tidak pernah sudi aku panggil begitu. Keesokan harinya, setelah pertengkaran hebat, ia membawaku keluar dari rumah. Kami naik ke sebuah taksi, melewati banyak gedung. Gedung-gedungnya kelihatan begitu besar, bak monster, sebab mereka tidak punya bendera, dinding batu dengan warna-warna cerah seperti kastil dalam anganku, ketika itu. Aku terus melihat ke jalanan di luar, halte-halte bus yang kami lalui, persimpangan jalan yang sialnya terlihat mirip satu sama lainnya. Aku tidak bisa membedakannya. Lalu taksi berhenti, tanpa mematikan mesinnya supir taksi itu menunggu kami untuk turun. Ibuku tidak membayar ongkos taksinya, jadi aku bertanya-tanya, apa supir taksi itu akan terus menunggu sampai ibuku membayarnya? Namun ibuku tidak menjawabnya. Ia menelepon, bicara entah pada siapa lalu memberiku sebuah amplop. Amplop bekas, berwarna coklat yang sudah usang. Hal yang selanjutnya terjadi, aku ditinggalkan. Ibuku kembali masuk ke dalam taksi, melaju pergi setelah memintaku menunggu sebentar di sana. Setelah ia memberitahuku, kalau aku harus menunggu Bibiku di sana. Aku si itik buruk rupa yang ditinggalkan, namun kisah ini bukan tentangku. Ini tentang Bibiku, seorang luar biasa yang aku harap adalah ibuku.