"Jungkook."
Dia tak berbalik. Memilih menunduk alih-alih menjawab panggilanku. Anak itu mulai bisa mengabaikan, seperti aku, dan kupikir itu membuatku benci setengah mati. Pada diriku sendiri.
Kupanggil sekali lagi, tapi dia memilih berjalan pergi. Menjauhiku. Aku terdiam, lalu berlari sekuat tenaga ketika Jungkook limbung di depanku. Darah dari hidungnya mengotori kemeja, mengotori pasir, mengotori tanganku yang memang sudah kotor sedari awal. Seharusnya aku tidak pernah mengabaikan dia. "Maaf. Aku tidak memohon, tetapi aku sungguh minta maaf. Padamu."
Tangan lemasnya menyingkirkan tanganku. Tubuh tanpa tenaganya mendorongku. Aku pantas mendapatkan hal yang lebih buruk. Dia menangis, aku sudah melakukannya sejak menemukan dia yang putus asa. Matahari pagi di pesisir pantai tak mampu mengembalikan harapannya, karena laut lebih dulu menenggelamkan hal itu.
Aku kembali mendekat. Dia memukul-mukul dadaku. "Kau," dia menarik napas. "Kenapa ... kenapa aku harus sekarat dulu agar kau menyesal?" Pukulannya terhenti, dia terduduk. "Penyesalanmu tak akan membuatku bahagia, Yoongi. Aku sudah melupakan caranya."
"Tidak, Jungkook ...."
"Dengar." Dia menatapku begitu tajam kendati darah terus menerus keluar dari hidungnya. "Mari kita kabulkan permintaanmu sejak dulu. Kau bukan kakakku. Aku bukan lagi adikmu. Selamanya seperti itu." Kedua matanya mengerjap. Hampir terjatuh lagi dan aku kembali menangkapnya. Kali ini, Jungkook membiarkan Yoongi mendekapnya. Tapi kalimat yang sang adik lontarkan membuat Yoongi merasa hancur untuk kesekian kali. "Pergilah, Yoongi. Sekalipun kau di sini, aku akan tetap mati." []