Bukan salahmu memilihnya, sebab jika aku menjadi dirimupun, aku akan memilihnya.
Maafkan, salahku yang teramat lemah, sehingga tidak sanggup untuk melupakan cinta ini, kelemahan itu yang membuatku masih terus bungkam hingga kini
.
Melupakan jarak yang mengikis habis perjumpaan, melupakan langkah yang terlalu panjang untuk kutapaki, tak juga membuatku sadar diri jika tak seharusnya jiwa ini merindukan raga yang berada sangat jauh di seberang sana.
Maafkan keterbatasanku, karena dengannya aku telah mencurangimu, dari mengetahui perasaanku ini. Maaf karena keterbatasanku ini, aku memilih egois, mengubur setiap hal yang tidak pernah ingin ku tunjukkan padamu.
Menjadikan diam dan kesunyian sebagai teman sendiriku, bukan karena aku malu jika rasa itu kau ketahui, tapi aku sadar jika kesempurnaan wanitamu tak akan pernah bisa aku tandingi, dia memang yang paling baik untukmu.
Meski kadang hati nurani menjerit, memaki kepura-puraan sang mulut yang masih terus mengunci semua dan memastikan jika kau tak perlu khawatir tentangku, sekalipun kenyataannya aku tidak baik-baik saja saat kamu terus melangkah bersamanya.
Dengan berbekalkan rasa sakit, aku berharap sang waktu bisa membuatku melupakanmu, berharap jika hempasan angin dimusim panas mampu membawa serta air mataku pergi, dan membuatku seperti dulu, baik-baik saja tanpamu.
Doa kuucap, dengan tangis yang paling menyat di malam sunyi, berharap sang penggengam takdir memberimu kebahagiaan terbaik, meski itu tidak datang dari tanganku, tapi dari tangan wanitamu. Sunyi akhirnya mampu meneriaki kebodohanku, membuatku tertawa hambar dilorong kehampaan, tersenyum perih sambil menatap langkahmu yang terus menyauh dengannya, meninggalkan aku dengan setumpuk rasa yang membekas, memberikan sebuah kenyataan palinh nyata untuk setiap angan dan mimpiku yang melambung tinggi ke angkasa, membiarkannya kembali menapak padamu dan mengingatkan jiwaku, jika tempatku bukan diaana