Apakah seorang author boleh mencurahkan perasaan tulisannya? Tulisan ini tidak panjang, maka tidak Saya masukkan ke dalam cerita. Belum.
Sebenarnya, belakangan ini saya sangat merindukan satu sosok. Dalam ingatan saya, dia selalu membantu setiap Kali saya ada dalam kesulitan. Hal ini bukan berarti dia adalah tokoh yang baik. Kadang dia membuat saya Ada dalam masalah. Kadang dia juga mengobrak-abrik perasaan.
Tapi belakangan ini saya sangat merindukan dia. Karena dia adalah orang yg selalu membantu Saya berdiri. Hampir 2kali patah hati dengan orang yg berbeda dia ada menemani saya.
Pada akhirnya hanya dialah orang yang bertanya "Apa kamu baik-baik saja?"
Saya pernah meninggalkan dia dan memilih orang lain. Saat it dia bertanya, "Apa kamu yakin? Aku tidak mau kamu sakit lagi". Dengan yakin Saya menjawab kalau Saya akan baik-baik saja. Tapi pada akhirnya saya terluka lagi, bahkan lebih parah.
Lagi-lagi, ketika berhadapan dengannya yang dia tanyakan pertama kali "Apa kamu baik-baik saja?" Saya tidak menjawab karena awalnya sayalah yg meninggalkannya. Tapi saya yakin dia tahu jawabannya, karena dia sangat mengenal saya. Dia membantu proses recovery saya untuk yg kedua Kali meski Kali ini saya menarik batas.
Pada akhirnya, saya tidak bisa menahan kepergiannya dan harus kehilangan sosok itu.
Sampai saat ini tak habis pikir, kenapa ada orang seperti itu. Sangat sabar, tak pernah menaikkan suara. Bahkan ketika memarahi Saya pun dia punya cara yang sangat akurat. Tanpa menaikkan suara dia bisa membuat saya mendengarkan dia. Kenapa bisa Ada orang seperti itu, saya masih saja heran.
Karena sosok itu sudah menghilang, tidak Ada lagi yang bertanya "Apa kamu baik-baik saja?"
Rasa kehilangan yg teramat sangat, serta hal-hal yg terjadi diluar kendali saya, hal-hal menyesakkan ini, membuat saya ingin menjawab "Tidak, aku tidak baik-baik saja,"
Tapi saya lupa, tidak ada yg bertanya.