"Nganterin kopi ke ruangan Bu Wati, Mbak." aku pun mengangguk-angguk, "ini anaknya siapa, ya? Kok ditinggal di sini sendirian?" tanyaku sambil memelankan suaraku takut bayi kecil ini bangun dari tidurnya yang lelap.
"Anu ... itu ... eum ...." aku menaikkan sebelah alisku, tidak biasanya Jansen berbicara dengan terputus-putus.
"Anak siapa?" tanyaku sekali lagi.
"Anak Bu Wati," cicitnya dan sukses membuat kedua mataku membeliak kaget. Bu Wati? Wati? Medusa? Ular? Astaga, aku tidak menyangka wanita ketus itu mempunyai anak semanis malaikat seperti ini.
"Ta—tap—tapi jangan bilang siapa-siapa, ya, Mba. Kata Bu Wati dia gak mau ada yang tau."
Aku menatap heran Jansen. Bayi ini manis, sangat malahan. Lalu, kenapa hadirnya harus disembunyikan? Apa dia ada karena dosa? Ah, tidak mungkin. Tapi itu bisa juga. Astaga Renjana pikiranmu kenapa, sih! gerutuku pada diriku sendiri.
"Mbak, eum ... bayinya mau aku bawa ke pengasuhnya."
https://my.w.tt/5LEWCTFx89