Gadis itu kembali menengadah; di atas rerumputan hijau, di bawah kelam langit malam. Matanya mengerling, perlahan jatuh pada rupa pemuda di sampingnya.
Entah sudah berapa lama kalimat itu menyangga di ujung lidahnya, selalu menunggu dirinya untuk berkata.
Kali ini saja, gadis itu ingin mengucap rana di dadanya.
"Maaf ya," ujarnya, pelan. Bahkan kalah dengan suara kunang-kunang di sekelilingnya. "Maaf, aku enggak pernah anggap kamu teman."
Lepas sudah janggal di hatinya, disambut dengan senyum sendu di bibirnya.
Si gadis pasti tak berharap kalau saja pemuda dengan mata terpejam di sebelahnya itu mendengarkan.
Yang terpenting, ia sudah jujur sekarang. Sudah jujur.
Walau ternyata sang pemuda merasakan gejolak di dada, tentu dari alam bawah sadarnya.
"Kamu enggak sendiri, karena aku juga sama."
20/04/2019