PROLOG - ANTAGONIS RASA
Yoshep Juenniel Petra konon ialah seorang bajingan yang terobsesi dengan gadis lugu. Di masa kuliahnya yang menginjak tahun ketiga ini gadis yang pernah dijadikannya kekasih sudah tidak bisa terhitung dengan jari. Namun, semua rumor negatif tentang dirinya langsung sirna seketika ia melihat sebuah adegan romansa tepat di depan kedua matanya.
"Nggak apa-apa kan, yang?"
"I-iya..."
Suara sebuah barang patah terdengar begitu Juen membuka paksa pintu kaca yang ditahannya. Ketiga orang yang berdiri di ambang pintu itu langsung menatap benda hitam yang terbelah menjadi dua di lantai.
"Aduh, i-ini usb elo?"
Kedua netra yang bulat dengan garis mata yang melengkung sayu itu memandanginya dengan tatapan memelas. Situasi seperti ini selalu berhasil menempatkannya dalam kubu pemangsa daripada korban. Lihat saja perbandingan nyata dari fitur wajah keduanya. Dengan terpaksa netra sipitnya membalas tatapan itu lantas tersenyum canggung.
"Maaf, gue ganti ya? Atau elo bisa pakai punya gue dulu nanti baru gue beliin yang sama."
"Nggak usah, kalian juga nggak sengaja."
Saat si gadis lugu di hadapannya itu hendak kembali menjawab, suara bariton dari pemuda di belakangnya berhasil menyela.
"Ya udah, kita minta maaf ya."
Sepasang kekasih itu pun melewatinya begitu saja meski si gadis masih merengek dalam genggaman prianya. Betapa kejamnya sutradara dunia hingga kembali membuat hatinya berdetak tak karuan. Bagaikan mengulang skenario lama berlabuhnya perasaan pada suatu dermaga walaupun harus menginvasi penghuninya. Inilah kisah antagonis rasa.