tanpakepala

Ada beberapa cinta yang berakhir bahagia, menyembul layaknya fatamorgana yang tak pernah menjadi nyata. Realitanya, semua terasa fana: pada rasa, karsa, serta cinta yang Arunika pupuk hingga sedemikian rupa.
          	
          	Dia masih di sana, berdiri pada labium pantai dengan kaki tanpa alas. Pasir-pasir lembut dan hangat itu agaknya memberi sang wanodya rasa nyaman  —dia masih bergeming layaknya batu karang setelah sepersekian jam.
          	
          	Di ujung sana, sang rembulan mencerminkan dirinya rupawan. Cantik sekali warnanya, hingga Arunika tak yakin  — apakah selama ini dirinya diam termangu menunggu kepulangan di penghujung. Atau sedari awal, sang gadis terpikat oleh cantiknya rembulan. Semuanya terdengar tak masuk akal.
          	
          	Jika kau bertanya apakah manusia diciptakan untuk saling mencinta, Arunika dapat menjawab bahwa hal itu benar adanya. Namun dalam perkamen takdir, kau tak bisa mengemis rasa yang sama, juga bukan berarti kau akan menerima afeksi yang setara.
          	
          	Dirinya masih di sana. Memohon kepada penguasa semesta untuk tetap membuat akal sehatnya tetap ada  —entah tanda konkret apalagi yang harus ia terima, nyatanya yang ia buang bukanlah perasaannya, namun lini kepalanya.
          	
          	Semuanya tak ada yang berubah: rasa serta kasih yang Arunika dambakan selama hidupnya. Juga bagaimana Banyu yang tak pernah datang membawa rasa setaranya.

tanpakepala

Ada beberapa cinta yang berakhir bahagia, menyembul layaknya fatamorgana yang tak pernah menjadi nyata. Realitanya, semua terasa fana: pada rasa, karsa, serta cinta yang Arunika pupuk hingga sedemikian rupa.
          
          Dia masih di sana, berdiri pada labium pantai dengan kaki tanpa alas. Pasir-pasir lembut dan hangat itu agaknya memberi sang wanodya rasa nyaman  —dia masih bergeming layaknya batu karang setelah sepersekian jam.
          
          Di ujung sana, sang rembulan mencerminkan dirinya rupawan. Cantik sekali warnanya, hingga Arunika tak yakin  — apakah selama ini dirinya diam termangu menunggu kepulangan di penghujung. Atau sedari awal, sang gadis terpikat oleh cantiknya rembulan. Semuanya terdengar tak masuk akal.
          
          Jika kau bertanya apakah manusia diciptakan untuk saling mencinta, Arunika dapat menjawab bahwa hal itu benar adanya. Namun dalam perkamen takdir, kau tak bisa mengemis rasa yang sama, juga bukan berarti kau akan menerima afeksi yang setara.
          
          Dirinya masih di sana. Memohon kepada penguasa semesta untuk tetap membuat akal sehatnya tetap ada  —entah tanda konkret apalagi yang harus ia terima, nyatanya yang ia buang bukanlah perasaannya, namun lini kepalanya.
          
          Semuanya tak ada yang berubah: rasa serta kasih yang Arunika dambakan selama hidupnya. Juga bagaimana Banyu yang tak pernah datang membawa rasa setaranya.

tanpakepala

Luka itu tak pernah baik-baik saja, selalu menganga. Berdarah dan bernanah layaknya mayat yang sudah membusuk bertahun-tahun lamanya. Sakit sekali rasanya, sampai kau ingin menggerogoti dan meludahinya, menginjak-nginjaknya hingga tak bersisa —hingga kau yakin bahwa luka itu hanyalah ilusi semata.
          
          Lalat-lalat terus berdatangan —tentu saja karena lukanya membusuk parah, mereka menelurinya tanpa naluriah. Tak ada yang bisa kau lakukan, faktanya rasa sakit terus meninggi hingga kau ingin mencabut lini kepala yang mengabsensi.
          
          Coba kau kembali melihat gamang yang kau tinggal, melihat pekatnya obsidian yang bahkan tak kau kenal. Kau lari layaknya anjing yang hampir mati, memohon berkali-kali untuk belas kasihan tak berarti.

tanpakepala

Pada ketidakadilan yang kita dapatkan, juga pandangan buruk yang kita terima. Bukankah sebagai manusia nyatanya kita berhak untuk marah? —tahu benar bahwa dunia terlalu sia-sia bagi mereka yang menerima apa adanya. Menggali, mencangkul, juga bekerja layaknya kerdil metropolis mampus yang tak tahu kapan semuanya akan menjadi kaya.
          
          Kau pikir saja sendiri.
          
          Pada logikamu yang sempit itu, juga pada pemikiranmu yang cetek itu. Bodoh sekali, mengambil perkamen orang lain sementara kita semua merasakan hal yang sama.

tanpakepala

"Mau sampai kapan?" 
          
          Pertanyaan dari seseorang di sebrang sana menarik kembali kesadarannya ke permukaan. Kantung matanya berkedut sebentar, mengulum rasa berat hati dengan mencengkram segelas teh yang kian mendingin. Ada rasa kalut di sana, pada pandangan kosong dan bibir yang ia tekan kuat-kuat. 
          
          "Entah. Aku tidak tahu."
          
          "Kau tidak pernah mau tahu."
          
          "Tidak, aku benar— aku benar-benar tidak tahu." 

tanpakepala

Masih pada permukaan yang sama, masih pada atmosfir yang sama. Agaknya dua manusia itu tetap saja memandang tujuan mereka, entah gila atau akal sehat tiada, nyatanya mereka masih bersandar pada punggung sesama. 
          
          Mereka terlalu sama. Pada hal-hal fana yang dirasa tidak menyeruak bagi yang lainnya, mereka tenggelam pada realita bahwa dunia tidak hanya yang ada di depan mata. 
          
          Di sana, mengukir lembut garis-garis tanpa makna. Wanodya mencoba mengejarnya hingga sang Bayu yang tetap berjalan lambat menjauhinya. Coba dimengerti posisi keduanya, tanpa kepala serta absensi logika nyata. 
          
          Mereka terjebak pada dusta fatamorgana. 

tanpakepala

i wanna be a native tribe descended from direct ancestors without any genetic attachments. i wanna be their leader, their warrior. against those who want to take what is ours.
          
          until when the final battle come, i led them to fight the people who wanted to take over our residence. we battle in the snow field. my arm was cut, blood was dripping on the snow. i was dragged by the enemy, my people followed my blood trail to looking for me.
          
          they found my head. only my head. which was pierced by a spear, placed at the highest point of the enemy's palace. they wanna scare my people so they wouldn't fight back or they would suffer the same fate like me.
          
          while they were expecting that, that incident actually inflamed my people's spirits. someone scooped up snow full of my blood, wash on his face. his eyes looked at the enemy's palace, a sharp gaze. his heart was filled with a strong determination to take revenge.
          
          and then he became the leader after i left. leading the native tribe with i became a symbol of their resistance.

tanpakepala

Kita memaku memori pada semesta juga raga yang kian tua, memandang jauh dirgantara layaknya burung-burung yang tak tahu akal pikirannya. Mari menyertakan kenangan-kenangan indah yang ada, yang menekan Wanodya layaknya injakan sepatu di atas kepala.

tanpakepala

Kita mengerti benar bahwa cita-cita tidaklah bisa diunggah dengan rasa yang sia-sia. Menyelinap layaknya raga yang dituntut sosial serta realita, meyakinkan diri sendiri bahwa dunia bukanlah hal yang perlu ditakuti. Mari kita tunjukkan pada pola pikir serta rasa yang kian tiada tara, mereka-mereka yang terlambat justru tidak kalah cepat dalam menggapai impian yang sempat terhambat. Doakan semuanya menjadi baik-baik saja, doakan semuanya menjadi damai dengan jalan serta mimpinya yang tidak terkira.

tanpakepala

Kita merekah indah pada purnama yang tidak tentu arahnya, yang mengenyam cahaya bintang layaknya fatamorgana yang diidam-idamkan manusia buminya. Tanpa telaah juga gundah, memuja layaknya proletar lapar tiada guna, kita menyembah khalayak raga yang tidak memiliki jiwa. Bersimpuh rendah hingga tak bisa lagi melihat indah. Menyentuh akal sehat hingga hilang terbebat layaknya perasaan gila yang semakin kuat. Nyata benar cintanya, pada angan-angan serta nirmala yang tiada habisnya. Coba dibiarkan saja hingga dia memohon ampun pada pola pikirnya.