Ada beberapa cinta yang berakhir bahagia, menyembul layaknya fatamorgana yang tak pernah menjadi nyata. Realitanya, semua terasa fana: pada rasa, karsa, serta cinta yang Arunika pupuk hingga sedemikian rupa.
Dia masih di sana, berdiri pada labium pantai dengan kaki tanpa alas. Pasir-pasir lembut dan hangat itu agaknya memberi sang wanodya rasa nyaman —dia masih bergeming layaknya batu karang setelah sepersekian jam.
Di ujung sana, sang rembulan mencerminkan dirinya rupawan. Cantik sekali warnanya, hingga Arunika tak yakin — apakah selama ini dirinya diam termangu menunggu kepulangan di penghujung. Atau sedari awal, sang gadis terpikat oleh cantiknya rembulan. Semuanya terdengar tak masuk akal.
Jika kau bertanya apakah manusia diciptakan untuk saling mencinta, Arunika dapat menjawab bahwa hal itu benar adanya. Namun dalam perkamen takdir, kau tak bisa mengemis rasa yang sama, juga bukan berarti kau akan menerima afeksi yang setara.
Dirinya masih di sana. Memohon kepada penguasa semesta untuk tetap membuat akal sehatnya tetap ada —entah tanda konkret apalagi yang harus ia terima, nyatanya yang ia buang bukanlah perasaannya, namun lini kepalanya.
Semuanya tak ada yang berubah: rasa serta kasih yang Arunika dambakan selama hidupnya. Juga bagaimana Banyu yang tak pernah datang membawa rasa setaranya.