First Meeting in Winter

69 8 6
                                    


Aku sangat menyukai tempat ini—gunung ini. Bertahun-tahun berlalu, gunung ini tetap tidak berubah. Airnya jernih, udaranya segar, seluruh tanaman tumbuh subur, bahkan aku selalu mendengar nyanyian dan sorak sorai para hewan lain yang begitu bahagia dan merasa nyaman berada di tempat ini. Aku pun bahagia hidup bersama saudara-saudaraku. Sejak pertama aku dilahirkan, aku selalu bermain di danau ini bersama kawanan bangau yang lain. Sesekali rusa dan babi hutan liar datang untuk sekedar minum atau membersihkan diri di danau ini. Kami semua hidup rukun hingga suatu ketika gerombolan manusia merusak segalanya. Mereka datang silih berganti ke dalam hutan di gunung ini, menembaki kami, menangkap dan menyeret kami untuk dibawa entah ke mana. Dulu aku tidak terlalu menaruh perhatian pada manusia. Aku hanya samar-samar tahu bahwa beberapa orang datang membangun kuil kecil untuk menghormati sang dewa penjaga gunung ini dan menaruh beberapa sajian yang katanya untuk dipersembahkan padanya. Mereka meminta agar tidak terjadi musibah seperti kebakaran hutan ataupun longsor sekaligus melindungi desa-desa mereka. Ada pula yang meminta permohonan aneh seperti mendapatkan keturunan atau pasangan.

Entah sejak kapan dan mengapa, para manusia itu semakin jarang berkunjung. Aku sempat berpikir apakah mungkin seluruh permohonan mereka telah menjadi nyata hingga akhirnya mereka tidak perlu lagi datang kemari. Aku tidak peduli selama aku bisa hidup tenang bersama dengan seluruh saudaraku. Namun ternyata, mereka kembali dan berkat ulah mereka seluruh saudaraku lenyap. Aku masih ingat jelas saudara kecilku yang terakhir mengeluarkan banyak darah dari perutnya akibat tembakan para manusia tak berperasaan itu. Bulunya yang putih telah ternoda oleh warna merah yang menjijikkan. Aku hanya bisa menangis menatapnya tanpa bisa melakukan apa-apa. Kata-kata terakhir yang kudengar darinya adalah, "Pergi! Pergilah yang jauh! Jangan sampai mereka menemukanmu... Kak Yuto."

Aku yang takut dan tidak bisa berpikir hal lain hanya mampu mengikuti perintahnya. Aku berlari dengan kedua kaki panjangku secepat mungkin ke bagian hutan yang lebih dalam. Aku tidak berani mengepakkan sayapku untuk terbang hingga akhirnya aku menemukan sebuah gua kecil yang dikelilingi oleh pepohonan dan semak belukar yang rimbun. Aku mengerutkan tubuhku sekecil mungkin dan diam di sana berhari-hari. Saat aku memberanikan diri untuk keluar dari persembunyianku, aku kembali ke danau berharap menemukan saudaraku yang lain yang mungkin berhasil sembunyi, namun semuanya nihil. Aku sebatang kara. Hidupku sudah tidak lagi bahagia. Tidak ada lagi teman yang bisa kuajak bicara selain mereka yang sesekali datang ke danau. Tidak ada lagi yang menenangkanku saat aku menangis. Tidak ada lagi yang mengajakku bertanding menangkap ikan di danau dan tidak ada lagi yang membagi kehangatan di kala musim dingin tiba seperti saat ini.


Di suatu pagi yang dingin di mana seluruh permukaan di gunung ini dipenuhi oleh salju putih, entah kenapa untuk pertama kalinya semenjak kejadian itu aku ingin terbang bebas di angkasa. Dengan sayapku yang lebar berwarna putih dan hitam di ujungnya, aku terbang mengitari gunung dan menyaksikan betapa indahnya tempat ini. Aku terpesona dengan perpaduan warna hijau segar dan birunya air danau yang tampak berkilau akibat terpapar oleh sinar matahari. Namun tiba-tiba aku mendengar kembali suara mengerikan yang selalu menghantuiku itu—suara tembakan senapan. Belum aku menyadari dari mana datangnya suara itu, aku mendapatkan rasa sakit yang amat sangat menjalar dari sayap kananku. Rasa sakit itu membuatku tidak bisa menjaga tubuhku tetap terbang di udara, dan aku pun jatuh di tengah hutan. Aku berusaha untuk bergerak agar bisa bersembunyi tapi tidak bisa. Air mata mulai mengalir karena aku tidak mampu menahan rasa sakit ini. Tak lama kemudian, aku mendengar suara langkah seseorang mendekat. Aku memang tidak berdaya, tapi aku tidak rela ditangkap oleh mereka. Pada akhirnya aku mengubah tubuhku menyerupai manusia dengan luka tembak di pundak kananku. Sebuah kekuatan yang hanya dimiliki oleh bangau dewasa. Sayangnya, saudara-saudaraku tidak sempat mendapatkannya karena ajal menjemput mereka lebih dulu. Hanya para tetualah yang bisa dan akhirnya memilih untuk hidup bersama dengan manusia yang dicintainya.

Balas Budi BangauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang