Leya keluar dari unitnya dengan terburu-buru. Sepatunya bahkan belum ia kenakan. Yah, Leya seperti ini karena ia ingin bertemu dengan tetangga barunya, Mas Yai.
Leya menunggu di depan lift. Matanya celingukan mencari keberadaan Yai yang belum terlihat. Namun, Leya juga tak cukup yakin apakah pria itu sudah pergi bekerja atau belum, tapi menurut otaknya Yai pasti belum pergi bekerja.
“Dia pergi kerja jam berapa, sih? Ini udah jam 7, masa dia pengangguran? Tapi, kayaknya gak mungkin. Mas Yai kayaknya orang yang kerja di kantor. Ah, kenapa jadi kayak gini, sih?”
Leya yang tengah sibuk berbicara sendiri tiba-tiba terkejut saat orang yang ia tunggu mendadak berada disampingnya.
Mas Yai. Pria itu kini memakai setelan jas khas pekerja kantoran. Rambutnya di sisir rapi dan tak lupa kacamata yang menghias mata elangnya.
“Selamat pagi, Mas Yai!” sapa Leya sembari mengangkat tangan kanannya.
Yai menatap Leya yang sedang menyapanya sembari tersenyum. Gadis itu memiliki tinggi di bawahnya, alhasil Yai merasa lucu sendiri ketika melihat Leya. Namun, Yai menahan tawanya dengan memalingkan wajah dan langsung masuk ke dalam lift, diikuti oleh Leya dengan barang bawaannya yang banyak.
“Mas Yai kerja di mana, sih?” tanya Leya sesaat setelah menekan tombol.
“Emangnya penting banget buat kamu tau?” Yai memainkan ponselnya.
Leya mengangguk. “Aku pengen akrab sama Mas Yai. Kita sekarang ‘kan tetangga. Yang namanya tetangga itu ikatannya akan melebihi saudara.”
“Oh, ya?” Yai merespon dengan singkat. Matanya tetap fokus pada ponsel.
Leya memutar otak. Ia ingin lebih dekat dengan Yai. Selain karena Yai tetangga barunya, Leya juga mulai merasa tertarik dengan Yai. Pria itu tipe idamannya.
“Mas?”
Belum sempat panggilannya itu di jawab, pintu lift tiba-tiba terbuka dan Yai pergi begitu saja.
Dia manis!
“Mas Yai! Nanti malam kita makan malam bareng, ya!!” teriak Leya pada Yai sebelum akhirnya pria itu masuk ke dalam bis berwarna biru.
****
Leya melamun sembari tangannya bergerak tak karuan di atas kertas yang kini sudah penuh dengan coretan pensil. Sembari senyam-senyum sendiri, Leya membayangkan bagaimana Yai jika tersenyum dan menjadi pacarnya.
“Woy yang dibelakang!” teriak dosen berusia 24 tahun yang kini sedang mengisi pelajaran di kelasnya.
Leya langsung tersadar dan panik ketika semua orang sudah menatap ke arahnya. Dosen muda bernama Rangga itu bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Leya yang tengah panik.
“Lagi mikirin apa kamu?” tanya Rangga dengan wajah datarnya.
“E-engga, Pak. M-maafin saya, Pak,” jawab Leya, gugup.
“Nanti, setelah kelas ini selesai, kamu temui saya. Harus!” perintahnya. Setelah itu Rangga membalikkan tubuhnya lalu kembali ke kursinya.
Sementara Leya gugup dan mulai takut. Meski usianya masih muda, tapi Rangga dikenal sebagai salah satu dosen yang menakutkan alias killer. Padahal Leya sudah memberikan peringatan pada dirinya sendiri agar tidak berurusan dengan Rangga.
“Hati-hati aja, Le! Rangga killer,” bisik Mayang, menakuti Leya yang sedang panik.
“Lo diem deh, May! Lagi panik nih gue. By the way, si Rangga pernah ngebunuh orang gak?”
Mayang terkekeh kecil lalu mengangkat bahunya.
“Semoga lo baik-baik aja, ya!”
“I hope ...”
***
Seperti yang sudah diperintahkan oleh Rangga, setelah kelas usai Leya langsung keluar dari kelas untuk pergi ke ruangan dosen menyebalkan itu sendirian. Leya sadar, kesialannya masih berlanjut sejak kemarin setelah ia mengutuk Mas Adi, seniornya yang gila hormat dan egois. Leya berpikir, sepertinya Adi memiliki kemampuan mistis yang bisa membuat Leya mendapatkan karma instant karena mengabaikan teleponnya.
Leya berhenti di depan pintu ruangan khusus para dosen. Leya menarik napasnya terlebih dahulu, baru ia mengetuk pintu sembari masuk.
Ruangan dosennya cukup sepi. Hanya ada Rangga yang sepertinya sudah menunggu kedatangan Leya. Terlihat dari cara matanya menatap Leya.
“Duduk,” perintahnya.
Leya duduk di kursi depan meja Rangga. Kepalanya sedikit tertunduk. Bagaimana pun juga Leya menghormati dosen di depannya meskipun agak sedikit kesal.
“Kamu tau ‘kan apa kesalahan kamu?”
Leya menjawab dengan anggukan kepala.
“Maka kamu harus mendapat hukuman agar tidak mengulang kesalahan yang sama.”
“H-hukuman, Pak?!” tanya Leya dengan mata yang membelalak.
Rangga mengangguk. “Pergi makan malam dengan saya malam ini juga.”
Leya terbelalak dengan mulut yang menganga. Untungnya ia segera sadar dan langsung menutup mulutnya. Meski begitu ia masih cukup kaget mendengar ucapan Rangga.
“Gak salah, Pak? Masa hukumannya makan malam sama Bapak? Apa hubungannya?”
“Gak ada hubungannya,” ucap Rangga. “Tapi, saya mau kamu melakukan apa yang saya perintahkan. Nanti malam kamu akan tau alasannya.”
Dahi Leya mengernyit. Wajahnya terlihat tidak tenang. Leya membatin, hukuman ini sangat tidak wajar, tapi tak bisa ia tolak. Akhirnya, Leya keluar begitu saja tanpa banyak bertanya lagi. Meski sebenarnya banyak pertanyaan yang masih belum terjawab.
Di luar, sudah ada Mayang yang menunggu Leya dengan cemas. Leya menghampiri Mayang lalu mengajaknya untuk pergi ke kantin.
“Lo kenapa?” tanya Mayang. Sepertinya ia sadar dengan ekspresi Leya yang mencurigakan.
“G-gak, gue gak apa-apa. Gue cuma laper aja.”
“Hmm .... okay?”
****
Syailendra keluar dari unitnya dengan membawa dua kardus di tangannya. Kardus-kardus itu berisi barang-barang tidak terpakai yang masih terbawa ke unit apartement barunya. Syailendra meletakkan kardusnya di tempat pembuangan sampah yang berada di dekat tempat parkir.
Matanya menatap salah satu foto dirinya dengan seorang wanita. Ia tersenyum tipis lalu membalikkan tubuhnya.
“Halo Mas Yai!!” sapa Leya dengan suara nyaringnya yang membuat Syailendra terkejut.
“Ya ampun!” Syailendra meringis sembari mengelus dadanya. Jantungnya masih berdegup kencang karena dikejutkan tadi.
Leya cengengesan. “Maafin Leya, Mas. Leya cuman bercanda. Leya gak tau kalau Mas bakal se kaget itu.”
Mata Syailendra yang setajam elang itu kini menyipit. Leya hampir di buat salah tingkah karena tatapan mata itu.
Keduanya berjalan seperti biasa lalu memasuki lift. Leya menekan tombol 8, di mana lantai mereka berada.
Tak ada obrolan. Keheningan ini membuat Leya tak nyaman, tapi tidak dengan pria disampingnya. Syailendra tampak asik dengan ponselnya.
“Ehm ... Mas?”
“Apa?” Syailendra merespon dengan cepat.
Leya tak langsung berbicara. Gadis itu malah memainkan ujung bajunya seperti anak kecil yang sedang meminta sesuatu. Tingkahnya membuat Syailendra penasaran hingga akhirnya Syailendra mengeluarkan deheman agar Leya segera berbicara.
“Leya masak banyak hari ini. Gimana kalau nanti malam kita makan bareng?” ajak Leya sembari menatap Syailendra dengan penuh harapan.
“Antar aja makanannya ke unitku. Aku sibuk.”
Pintu lift terbuka. Syailendra segera berjalan mendahului Leya yang masih berdiri mematung.
“Maksudnya, dia minta gue buat datang ke unitnya? Gitu?” Leya menjerit karena pikirannya sendiri.
“Dasar aneh,” Syailendra geleng-geleng kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Masa Nikah?
RandomBerawal dari perkenalan tetangga baru, Aleya akhirnya menemukan sosok pria idamannya, Syailendra. Syailendra yang pada awalnya terganggu dengan kehadiran Leya mendadak berubah setelah menyadari jika Leya bisa menjadi partner yang baik untuknya.