Calon Istri

98 83 22
                                    

Di sini lah Leya sekarang. Menikmati makanan mewah dengan dosen killer yang sama sekali bukan tipe idamannya. Sesekali Leya menatap Rangga, tapi saat pria itu membalas tatapannya, Leya memalingkan wajahnya.
“Kamu dari tadi ngeliatin saya terus, ada yang aneh sama muka saya?” tanya Rangga setelah meneguk wine nya.
Leya menggelengkan kepalanya.
“Terus?” Salah satu Alis Rangga naik.
“Saya cuman heran aja, Bapak ngapain ngajak saya ke sini? Ini restoran mahal.”
“Saya udah terlanjur melakukan reservasi di sini, Leya. Harusnya malam ini saya gak pergi sama kamu.”
Leya tak langsung percaya. Dia justru menyipitkan kedua matanya sembari memotong daging asap yang ada di piringnya.
“Serius, Le. Saya awalnya mau ngajak kencan teman saya, namanya Desi. Tapi, gagal.”
“Gagal? Kenapa?” tanya Leya, kepo.
Rangga meletakkan pisau dan garpunya lalu menatap Leya secara penuh. Ekspresi wajahnya berubah dan tatapan matanya terlihat sendu, membuat rasa penasaran Leya semakin menjadi.
Setelah mengambil tarikan napas yang cukup panjang, Rangga menjawab, “Desi sudah punya pacar. Selain itu, dia juga bilang kalau saya bukan tipe nya. Dia bilang saya ini terlalu ‘kolot’, emang benar ya, Le?”
Leya tertawa kecil sebelum akhirnya ia mendapat tatapan tajam dari Rangga. Aura psikopatnya menggebu-gebu.
Leya berdehem lalu mengangguk kecil. “Sebenarnya Bapak ini memang terlalu ‘kolot’ untuk usia yang baru menginjak 24 tahun. Gak perlu jauh-jauh, style Bapak aja gak fashionable. Bapak gak sadar?”
Diamnya Rangga seperti jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Leya. Pria itu mendadak tersadar dan langsung memandangi wajahnya di cermin.
“Terus, apa yang harus saya ubah, Le? Saya bingung,” keluhnya seraya meneguk wine.
“Bapak harus mulai melakukan perubahan. Potongan rambut, tubuh, style, dan cara bicara. Bapak harus bisa membedakan cara ngomong ke murid sama cara ngomong ke orang yang Bapak suka. Ngerti ‘kan, Pak?”
Hening. Rangga tak menjawab ucapan Leya. Isi pikirannya begitu penuh dengan berbagai hal. Namun, satu kata yang terpampang jelas di dalam kepalanya adalah perubahan.
Makan malam usai. Rangga mengantar Leya karena kasihan terhadap mahasiswinya jika harus pulang sendiri.
“Pak, makasih ya sudah mengantar Leya pulang. Selain itu, terimakasih juga buat makan malam mahalnya. Bapak terbaik!” ucap Leya sembari mengacungkan kedua jempolnya.
Rangga merasa tersentuh. Namun, ia segera menepis pemikiran itu dan menjawabnya dengan anggukan kepala.
Leya keluar dari mobil dan langsung berjalan menuju lift. Namun, siapa sangka, jika keberuntungan saat ini sedang berpihak kepadanya. Syailendra, tetangga barunya itu kini sedang duduk termenung di dalam lift.
“Mas? Kamu kenapa? Kamu gak kesurupan, kan?” tanya Leya sembari mencolek bahu Syailendra dengan hati-hati.
Syailendra yang awalnya sedang menunduk langsung mendongakkan kepalanya dan menoleh pada Leya. Ekspresinya datar, tapi agak terlihat sedikit bingung.
****
Leya dan Syailendra menikmati makan malam berdua dengan suasana yang hening. Sesekali Leya mencuri-curi pandang pada Syailendra yang serius dengan mie gorengnya.
“Mas, kamu kenapa, sih? Kok tadi duduk di dalam lift? Terus sekarang kenapa? Ngelamun kayak orang lagi banyak pikiran. Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Leya bertubi-tubi.
“Leya, maafin saya.”
“Maaf? Minta maaf buat apa, Mas?” Leya dibuat bingung.
“Kakakku tadi datang ke sini. Dia kasih kabar kalau orangtuaku masuk rumah sakit. Sebenarnya ini bukan hal aneh karena orangtua aku emang udah sering masuk rumah sakit. Tapi ...” Syailendra menggantungkan ucapannya. Ia lalu menatap Leya.
“Tapi apa, Mas?”
“Kondisinya sekarang parah. Orangtua aku udah lama minta aku supaya bawa calon, tapi sampai sekarang aku belum nemuin cewek yang tepat.”
“Jadi?”
“Kamu mau gak kalau besok temenin aku ke rumah sakit?” ucap Syailendra tanpa jeda. Setelahnya ia meneguk salivanya.
Mulut Leya ternganga dengan matanya yang membulat. Terkejut sekaligus senang. Leya langsung menjawab dengan anggukan kepala.
“Kamu serius, Le?” tanya Syailendra yang tak percaya.
Namun, anggukan Leya yang kedua berhasil membuat Syailendra percaya jika gadis di depannya ini memang bersedia membantu.
“Kok kamu mau? Kita ‘kan baru kenal?”
“Leya mau karena Mas Yai. Asalkan Mas Yai yang minta, Leya pasti mau kok, Mas!” jawabnya sembari cengengesan.
Syailendra tersenyum kikuk. Namun, ia yakin, Leya adalah orang yang bisa ia percaya.
***
Leya berjalan riang di belakang Syailendra yang terlihat gugup. Sesekali Leya melompat kecil lalu tersenyum pada anak-anak kecil yang tak sengaja berpapasan dengannya. Aura bahagianya terpancar dengan jelas, membuat Syailendra yang semula panik menjadi sedikit tenang.
“Kamu kok ceria gitu? Gak takut? Atau kamu gak merasa terbebani?” tanya Syailendra. Kini keduanya berjalan beriringan.
Leya menggeleng. “Leya senang kalau bisa bantu Mas Yai. Oh ya, penampilan Leya gimana, Mas? Norak atau cocok?”
Syailendra berhenti sebentar lalu memperhatikan Leya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bagi Syailendra, tak ada yang aneh dengan penampilan Leya. Justru Leya terlihat sangat cantik dan aura positifnya terpancar. Rambut panjangnya yang berwarna hitam Leya kepang menjadi satu, tak lupa ia menambahkan jepitan rambut bentuk bunga matahari. Sementara untuk pakaian, Leya memakai blouse berwarna putih yang ia padukan dengan rok selutut berwarna biru. Simple, tapi bagi Syailendra sangat pas.
“Mas? Kok ngelamun sih?!” omel Leya sembari melambaikan tangannya tepat di depan wajah Syailendra.
“E-eh, cocok! Kamu cocok pakai baju ini. Gak norak kok!” jawabnya dengan gugup.
“Serius, Mas? Gak ada yang lain?” Leya menyenggol lengan Syailendra sembari mengangkat kedua alisnya secara bersamaan.
“Yang lain?”
Leya mengerlingkan matanya lalu mendesah pelan. “Mas ... Leya cantik gak pakai baju ini?”
Deg!
Syailendra terdiam. Bibirnya tertutup rapat. Di depannya Leya sudah menunggu tanggapannya. Bibir dan hatinya berkata berbeda.
“Syailendra!” panggil suara lain.
Syailendra dan Leya menoleh pada sumber suara, lalu seorang wanita menghampiri mereka sembari tersenyum.
“Baru sampai?”
“Iya, Kak! Maklum lah, aku harus ke kantor dulu buat kasih kerjaan  yang belum selesai.”
“Terus, ini siapa?” tanyanya sembari menatap Leya yang sejak tadi diam karena tidak diajak berbicara.
“Oh ini, ini Leya, Kak. Dia ...” Syailendra menghentikan ucapannya lalu menatap Leya yang sudah tersenyum padanya. “Dia pacarku, Kak,” sambungnya.
“Ya ampun, cantiknya adik iparku. Kenalin, aku Anita. Kakak pertama Syailendra.” Anita mengulurkan tangannya.
“Aku Aleya, Kak. Panggil aja Leya. Selain itu, terimakasih untuk pujiannya, Kak. Kakak juga cantik,” ujar Leya sembari menerima uluran tangan Anita dengan kedua pipi yang sudah memerah.
“Ya sudah, gimana kalau sekarang kita ketemu Mama sama Papa? Mereka udah nunggu dan pasti gak sabar buat ketemu sama calon menantunya.”
Leya mengangguk. Ketiganya lalu berjalan bersama menuju ruangan dimana kedua orangtua kakak adik ini di rawat.
Entah kenapa jantung Leya kini berdebar saat ia sudah berdiri di depan pintu. Padahal di awal ia justru tak sabar untuk bertemu dengan kedua orangtua Syailendra.
Anita sudah masuk lebih dulu, sementara Syailendra berhenti saat menyadari Leya yang tampak gugup.
“Gugup?” tanya Syailendra.
Leya mengangguk. “Leya takut, Mas. Walaupun kita cuman pacaran boongan, tapi Leya takut bikin masalah. Leya takut Mas kena masalah gara-gara Leya.”
Syailendra menghembuskan napasnya lalu menggenggam kedua tangan Leya. “Kamu tenang aja, aku yakin kamu gak akan bikin masalah. Kita masuk, ya?”
Leya menarik napas panjang lalu menganggukan kepalanya. Ia mempercayakan semuanya pada Syailendra.
“Menantu? Ini yang kamu bilang calon istri?!”

Tetangga Masa Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang