Semua baik-baik saja setelah kejadian aku hampir terjatuh dari balkon di hari saat aku sampai ke asrama. Tante sudah sampai rumah dengan selamat, membuatku dapat tidur dengan nyenyak lagi setelah lama aku mencemaskannya. Mengkhawatirkan rasanya menilik tante pulang naik pesawat, itu mengingatkanku akan suatu tragedi di masa lalu.
Ada satu yang ketinggalan, Susan, dia ijin pulang untuk beberapa hari karena papanya sakit, dan aku harus bertahan hidup sebisa mungkin dari cewek berandalan yang kini menjadi temanku satu-satunya di kamar.
Aku meraih kaca mata hitam yang biasa kupakai, lalu kukenakan itu dengan satu tangan sementara tanganku yang lain menjejalkan potongan roti ke mulut. Dengan pipi menggembung, kupatut diri di depan cermin, menyedihkan, itu lah kata yang pantas buatku saat ini. Aku masih harus memilah buku pelajaran untuk dibawa sekolah, menghabiskan sarapan, lalu berlari sekuat tenaga keluar asrama untuk pergi ke kelas. Setidaknya, aku membutuhkan waktu lima belas menit itu.
Sambil menggigit bibir, kulirik jam dengan gugup, tujuh menit lagi kelas di mulai. Aku akan telat, dan ini semua salah Kyle! Kenapa dia tidak membangunkanku pagi ini! Aku tahu Kyle punya dendam denganku masalah pukulan tempo hari, tapi haruskah dia membalasnya dengan seperti ini?!
Meninggalkanku sendiri di kamar saja, sudah terdengar menyeramkan, dan dia membuatku telat masuk kelas sekarang. Seperti yang sudah pernah kulalui, hukuman telat masuk kelas, kalau tidak membersihkan toilet, pasti membersihkan gudang. Keduanya sama buruknya, ditambah dengan kondisiku saat ini, astaga, ini bencana.
Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini, tapi intinya, aku bisa melihat masa lalu dan ... hantu? Aku sendiri tidak tahu mereka satu spesies atau tidak. Kemampuanku ini muncul dibarengi dengan sesosok bocah perempuan yang sampai sekarang masih mengekoriku. Dia bilang, dia adalah inti dari jiwaku. Kalian pastinya sudah tahu, tempat semacam toilet dan gudang bisa jadi markas mereka, dan itu bisa membuatku kacau.
Dengan mata yang kuusahakan fokus kepada hal yang kulakukan, aku akhirnya bisa keluar dari kamar terkutuk itu hidup-hidup. Tanganku memegang tiga buku tulis yang kuambil dengan asal dan sedang kuusahakan untuk bisa disisipkan ke tas sambil berlari. Kakiku berpacu cepat menyusuri koridor, menimbulkan suara menggema yang, astaga, bisa memancing mereka untuk mendekatiku. Benar saja, saat aku mengangkat kepala setelah selesai dengan ranselku, mereka tengah menantiku. Kepala mereka menembus dinding, membuat kakiku berhenti mengambil langkah seketika.
Biji mataku bergetar nanar dari balik bingkai kaca mata sementara kakiku sendiri, sudah lemas dan siap meluruhkan tubuhku. Ransel yang baru setengah jalan kusandang di bahu, merosot lagi, memicu denting gantungan kunci saat benda berisi buku itu menyapa lantai.
Dengan gerakan pelan, kutundukkan kepala, satu-satunya hal yang masih tampak murni dalam pandanganku adalah lantai, masih seputih netra mereka yang memaku tatapan ke kepalaku. Seharusnya aku bisa mengabaikan mereka, seharusnya aku bisa melangkah tanpa takut tangan salah satu dari mereka menangkup mataku dan memperlihatkan kenangan menyakitkan itu, atau barangkali, aku bisa memaki mereka dengan sumpah serapah yang kupelajari dari sepupuku. Tapi kenyataannya, aku cuma diam. Terpaku.
"Tidak ada tempat yang aman untukku," ucapku sarat akan kepasrahan.
Entah sudah berapa lama aku menekuri ujung sepatuku. Masalah keterlambatanku sudah terhapus dari kepala, cuma siur angin yang mengisi benakku, atau suara mereka yang memanggilku mendekat.
"Ada, kalau kau mau menciptakannya."
Aku boleh jadi mengira itu suara salah satu dari mereka kalau saja tidak ada tangan yang memaksa kaca mataku lepas. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menengadahkan kepala saat itu juga. Di depanku, seorang cowok berjaket marun sedang berdiri dengan mata menatap jengah kemari, butuh waktu untukku bisa meraih netra birunya yang indah ke dalam radar penglihatanku, maksudku, tubuhnya terlalu tinggi buatku. Tapi setidaknya, itu bisa membuatku bernapas lega karena dia bukan bagian dari mereka. Netra itu tidak putih, pandangannya pun tidak kosong, dan yang pasti, dia bisa melepas kaca mataku dengan lancar (hantu tidak bisa menyentuh barang manusia, kan?)
"Kenapa kau di sini, Path?" tanyaku begitu berhasil mengenali wajahnya sebagai salah satu temanku. Dia Pathees, teman yang merangkap menjadi pengacau hariku.
"Menemanimu, kau telat masuk," jawabnya, "di hari pertama masuk kelas setelah liburan musim dingin."
Sesungguhnya aku masih ingat betul fakta itu dan dia tak harus mengingatkanku seakan aku adalah orang paling pikun di jagat raya.
"Aku menunggumu di depan pintu kamarmu, tapi kau berlari keluar kamar seperti sedang dikejar setan." Dia memasang wajah masam yang membuatku ingin melempari muka itu dengan bola salju karena dia terlihat imut.
"Memang iya, aku sedang dikejar setan ...." Tanpa sadar aku melongokkan kepala melewati pundaknya, cuma butuh sepersekian detik untukku bersitatap dengan salah satu dari hantu itu. Tubuhku kaku, darahku berdesir seiring adrenalinku yang meningkat tajam, apalagi saat hantu itu mengeluarkan tanganya menembus dinding dan memanjangkannya mencoba meraihku.
Aku menjerit jeri.
"Jangan tatap mereka, bodoh!" Kurasakan tangannya meraup wajahku dan mendorongnya sampai bahunya kembali menyembunyikan kengerian yang beberapa saat lalu terjadi. "Ingat kata Pak Will?"
Aku mengangguk dan dia mulai melepas telapak besarnya dari mukaku. Sambil menambatkan atensi ke kelereng biru milik Path, aku akhirnya bersuara menirukan perkataan Pak Will, "Kau akan baik-baik saja selama mereka tidak tahu kau bisa melihat mereka. Jangan tatap mata mereka dan fokuslah ke hal yang sedang kau lakukan."
"Bagus." Dia menepuk kepalaku pelan kemudian kembali menyematkan kaca mata hitam yang dia ambil ke wajahku. "Apa yang sedang kau lakukan tadi?"
"Berjalan ke kelas, aku ... terlambat."
Pathees, tanpa aba-aba menarikku untuk kembali berlari. Dia tahu-tahu sudah memasang tasku di pundak kanannya, ingin rasanya aku tertawa mengingat tasku berwarna pink, benda itu terlihat konyol saat terpasang di bahu lebar itu.
Kami berlarian di koridor asrama, di tangga aula, di koridor kelas bahkan ketika kami akhirnya dijatuhi hukuman buat membersihkan ruang seni akibat telat masuk kelas.
Dalam sekejap, dia membuatku melupakan mereka.
****
Wah, hutang saya menumpuk :'V
Oke, mari cicil satu-satu ༎ຶ‿༎ຶ
YOU ARE READING
Evanescent - Nagata Enda
Fantasy"Aku adalah kau, kau adalah aku," katanya dengan suara terdistorsi. Dia tahu-tahu muncul disampingku, duduk di ranjang dengan tidak santai, membuatku mengacaukan pagi indah keluarga Seblack dengan jeritanku. "Aku adalah inti sari jiwamu," ucapnya...