Hidup singkat bukan? Sesingkat aku yang dulu cuma bisa menangis sembari mengencingi diri sendiri, tapi sekarang sudah ada di balkon asrama sekolah menengah atas.
Peraturan sekolah ini bisa dibilamg mengerikan. Dua hari setelah tahun baru, aku dan sepupuku sudah harus kembali ke sini, maka di tanggal 2 Januari kami berangkat dari Jakarta ke California diantar Tante kami.
Kami sampai sehari kemudian, dan yang harus kami lakukan adalah absen. Cuma absen! Guru yang mengarahkan kami untuk mengambil kunci kamar berkata dengan ringan, kalau kelas diadakan 6 hari lagi seolah fakta kalau aku, sepupu dan tanteku berbondong-bondong kesana cuma buat menempelkan jari ke fingerprint belum cukup menjadi alasan untukku merebut mic guru itu lalu menyanyikan lagu dengan intro, "Eta terangkanlah".
Tante mengantarku sampai kamar, memastikan aku tetap selamat sementara sepupuku disuruh ke kamar sendiri. Tanteku seolah tahu tabiatku yang cuek dengan keselamatan. Dia sudah berkali-kali ditelepon pihak sekolah kalau aku masuk ke UKS bahkan pernah sampai ke rumah sakit karena jatuh menggelinding dari tangga aula atau sekedar karena berkelahi dengan teman sekelas. Aku ingin membalikkan badan melihat tanteku kepayahan menyusul langkah cepatku, lalu berseru, "Aku tidak akan melompat dari balkon ataupun mengurung diri dalam lemari es untuk mendinginkan kepala!" tapi aku terlalu lelah. Akhirnya aku membiarkannya mengantarku.
Setelah melewati koridor yang amat panjang dengan pintu-pintu kayu di sisinya, aku akhirnya sampai di kamar. Dua teman sekamarku terkesiap melihatku membobol pintu kamar diikuti wanita paruh baya yang wajahnya sama kelamnya dengan punyaku.
Adegan terkaget-kaget mereka belum selesai dan aku sudah berulah lagi. Badanku menghantam ranjang dengan segenap kekesalan menimbulkan suara 'keriyut' yang bagi beberapa orang amat memilukan, termasuk aku sendiri.
Kudengar tante meminta maaf dengan sopan, "Maaf, ya, dia kelelahan."
"Tidak apa-apa, nyonya," sahut salah satu temanku. Dari suaranya, aku langsung tahu kalau itu Susan, Kyle-temanku satunya-tidak akan repot-repot menyematkan panggilan sesopan itu pada tanteku ketika kepada mamanya sendiri saja, dia cuma memanggil nama. Ah, Kyle yang bengal (aku seketika lupa kelakuanku mengerjai guru baru dengan pura-pura kesurupan).
Entah selama apa aku memejamkan mata, tante bilang, aku tidur seperti orang mati, Susan bilang aku terkena jet lag dan Kyle bilang, gaya tidurku keren sekali. Susan menyodorkan teh camomile yang kuterima dengan senang hati.
"Tante belum pulang?" tanyaku dengan suara serak yang dihadiahi cemoohan Kyle.
Cih, dia sepertinya memutuskan buat mulai menyulut pertengkaran sejak sekarang. Perkelahian terakhir kali saja belum menemui titik terang dan dia sudah mau menghancurkan hidup penuh ketenangan milikku untuk beberapa hari ke depan, sebelum kelas dimulai.
"Tante bakal pulang besok, Ta," ucap tante kesal seolah sebelumnya aku menyuruhnya angkat kaki dari tempat ini, walau memang begitu kenyataannya. Aku merasa tidak bebas kalau ada dia di sini, aku tidak akan bisa memukul Kyle kalau dia memancingku tanpa rasa bersalah kepada tanteku itu. Sudah cukup dia kelelahan menjadi pencari nafkah bagi keluarga kami yang agak berantakan ini.
Setelah meraup sepotong puncake milik Susan, aku berjalan ke arah balkon. Lapangan sudah mulai penuh dengan anak-anak tingkat awal, dan aku masih berdiri menyangga tangan ke pagar balkon seakan aku adalah pemilik sekolah ini, jangan lupakan fakta bahwa aku masih memakai piama bermotif bulan dan bintang dengan wajah khas bangun tidur.
Rasanya baru kemarin aku berada di posisi mereka. Berdiri bergandengan dengan sepupuku lalu mengikuti arus dengan wajah kelewat polos tanpa tahu apa yang menanti kami di depan sana.
"Waktu berlalu cepat, bukan?" Senyumku mendadak luntur. Aku terlambat menyadari sebuah kabut hinggap tepat di sampingku. Bentuknya serupa anak kecil yang tingginya tak sampai sepinggangku. Dia tengah duduk di lantai dengan tangan menggenggam bilah besi balkon dan wajahnya mengkerut seakan dia berada di penjara. "Kau lahir, lalu hidup, menjadi salah satu dari manusia yang tamak itu, lalu mati."
Bagi telingaku, suaranya selembut sutra, tapi bagi benakku, suaranya bak air dingin dan gelondongan es yang menyiramku dengan datar. Sedatar senyum yang selanjutnya dia tampilkan.
"Secepat lesatan kereta, dan boom!!" lanjutnya, "kau jadi hantu."
****
Bagaimana petak umpetnya kemarin?
Kalian tidak nyasar kan?Masih ada chapter selanjutnya yang perlu kalian tunggu, jadi berteman baiklah dengan penghuni di sini, dan tanyakan denah univers ini ke mereka karena saya sedang sibuk dengan baby OC saya.
Babay!!
Selamat menikmati prolog! (Oke, ini harusnya ditaruh di awal)
YOU ARE READING
Evanescent - Nagata Enda
Fantasy"Aku adalah kau, kau adalah aku," katanya dengan suara terdistorsi. Dia tahu-tahu muncul disampingku, duduk di ranjang dengan tidak santai, membuatku mengacaukan pagi indah keluarga Seblack dengan jeritanku. "Aku adalah inti sari jiwamu," ucapnya...