🍁00 : Prolog🍁

529 81 17
                                    


Seoul, 27 November 2006.



Angin berhembus cukup kencang di taman belakang rumah bergaya Eropa, hampir saja membuat gadis kecil bersurai hitam panjang kehilangan kelopak bunga pada genggaman tangan. Cahaya pagi yang mulai naik ke permukaan menyinari sedikit celah maniknya yang bening mengkilat. Garis wajahnya tergolong anggun, ciri khas anak orang kaya. Pakaian yang melekat pada tubuhnya pun tampak mewah dan mahal.

Penampilannya benar-benar terlihat spesial.

"Kau harus selalu menghubungiku, Ji."

Pria kecil bertubuh gempal yang duduk di sebelahnya bergumam, raut wajahnya yang tampan tersenyum teramat manis. Namun si gadis kecil lekas bergidik ngeri, sangat tidak suka dan merasa tak nyaman. Jika bukan karena kedua orangtuanya memaksa, mungkin dia tidak akan sudi kemari.

"Aku tidak berjanji," balas si gadis ketus. Malah terkesan abai, bahkan nampak tidak sudi untuk sekedar membalas tatapan.

"Aku mohon, Jisoo. Aku tidak ingin jauh darimu. Aku menyukaimu," gumam si pria kalut. Terlihat jelas sekali jika perkataan dari Kim Jisoo barusan membuatnya sedih, bahkan sekarang air mata sudah mengenang pada pipinya yang tembam.

"Aku sangat sibuk Taehyung." Jisoo berujar malas. "Aku harus les bahasa Inggris sepulang sekolah. Setelahnya aku harus les menggambar. Setelahnya lagi aku harus les memasak. Jadi, aku tidak ada waktu untuk menghubungimu." Jisoo benar-benar tidak melembutkan nada suaranya. Sekarang kekesalan lebih mendominasi dada. Kim Taehyung kalau tidak dikasari, dia tidak akan pernah mengerti.

"Usahakan tetap menghubungiku." Taehyung menundukkan kepala sedih.

"Kenapa kau tidak menghubungi Jiyeon saja. Dia tidak ada les apa pun setelah pulang sekolah, kecuali membantu ibunya." Taehyung lekas menatap Jisoo tajam, merasa tidak suka jika nama itu diucapkan. Dan Jisoo langsung melipat bibir, mengutuk diri dalam hati karena baru saja keceplosan. Selama sepuluh tahun hidupnya, Taehyung sangat membenci Jiyeon. Jika bukan karena Jiyeon adalah sahabat Jisoo, mungkin pria kecil itu tidak akan sudi mengajak Jiyeon bermain bersama mereka.

"Aku tidak menyukainya," jawab Taehyung dingin.

"Lagian dia itu anak pembantuku. Sangat tidak cocok denganku. Wajahnya jelek dan kusam. Bukan tipeku," lanjutnya menambahkan. Raut wajah Taehyung terlihat benar-benar tidak senang, langsung membuat Jisoo marah bukan kepalang. Merasa tak terima jika sahabatnya direndahkan.

"Kau sudah berjanji untuk tidak menghinanya lagi Taehyung." Jisoo terlihat kecewa, segera berdiri dari duduk dan membuang kelopak bunga yang diberikan Taehyung padanya.

"Jisoo, aku tidak sengaja." Taehyung jadi gelagapan. Tangannya berusaha untuk meraih tangan kecil Jisoo.

"Lagian itu salahmu. Ini saatnya kita membahas hubungan kita, bukan malah Park Jiyeon. Aku akan pergi jauh dan kembali sangat lama. Apa kau tidak akan merindukanku?"

Jisoo menghela napas secara kasar. Sebenarnya dia tidak membenci Taehyung, hanya saja Jisoo menjadi muak jika Taehyung selalu membahas hubungan mereka. Padahal Jisoo tidak menyukainya. Taehyung bukan tipe idaman Jisoo. Mereka tidak akan cocok jika bersanding.

"Tapi kau tak perlu menghinanya. Dia itu sahabatku Taehyung."

"Baiklah. Aku tidak akan menghinanya lagi. Walau terkadang aku kesal jika dia berdekatan denganku. Apa lagi menyentuh barang-barangku. Jika bukan karena kau, mungkin aku sudah mencacinya."

Taehyung menekuk bibir, tubuhnya kembali duduk saat merasa perutnya jadi sesak karena kelamaan berdiri. Jisoo mengikuti langkahnya dengan enggan, berusaha menahan diri untuk tidak terlihat bosan dan dengan sabar mendengar segala macam bentuk perintah Taehyung yang akan pergi ke San Fransisco beberapa menit lagi.

HallelujahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang