Sebagai seorang desainer grafis di salah satu perusahaan periklanan kelas menengah di pinggiran ibukota provinsi, Adisa kadang harus menelan umpatannya ketika beberapa kali diberi tugas yang amat sangat melenceng dari job descnya. Jujur saja, dari awal dia melamar pekerjaan di sini, nggak pernah tuh dia membaca kalau dirinya harus menguasai aplikasi editing video, tapi sekarang apa?
"Hehe, pasti bisa lah, Dis. Kuliah lo kan beginian belajarnya," mbak Egi, salah satu rekan kerjanya, nyengir tanpa dosa sambil menunjuk draft video iklan di komputer Adisa dengan dagunya.
Adisa menghela nafas, rasanya mau maki-maki mbak Egi tapi nggak tega karena dia baru beberapa bulan lalu melahirkan, walaupun jelas nggak ada hubungannya sampai Adisa bisa disuruh ngedit video, tapi tetap aja nggak tega.
"Iya mbak, aku coba dulu ya, belum pernah soalnya," ucap Adisa pada akhirnya.
"Okay Dis, gue percaya sama lo. Semangat Adisa cantik!"
Adisa tersenyum tipis. Tentu aja pujian tadi bukan tulus dari hati mbak Egi, tapi semata-mata buat menyenangkan hatinya saja. Dia sadar kalau wajahnya nggak secantik itu.
Setelah beberapa jam berkutat dengan software editor yang bahkan baru dia kenal beberapa hari lalu itu, pekerjaan Adisa sudah hampir selesai. Tinggal menunggu rendering saja dan dia sudah bisa pulang. Lumayan menyenangkan juga mengedit video iklan, nggak semonoton saat membuat flyer atau desain papan reklame.
"Dua minggu lagi mas Teo menikah, dateng ya."
Adisa tersentak pelan ketika melihat selembar undangan diletakkan di meja kerjanya. Begitu dia menoleh, sesosok jelita bernama Josefina Nadyaningrum, teman seusianya yang lebih dikenal dengan panggilan akrab Joy langsung tertangkap oleh netranya.
"Hah? Nikah sama siapa mas Teo?" tanya Adisa bingung, setengah kaget, sampai belum sempat membaca nama yang tercetak di atas undangan.
"Sama gue lah," jawab Joy santai. Mereka berdua memang pacaran sampai-sampai Adisa kaget ketika Joy bilang kalau mas Teo mau menikah.
"Yaudah, bilang aja kalau lo yang nikah?? Kenapa harus bilangnya mas Teo yang nikah? Gue udah panik tau!" gerutu Adisa yang takut kalau temennya itu ditinggal menikah oleh sang kekasih hati.
Joy cuma nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang rapih, "Hehe, ya maaf. Iseng aja."
"Kok tiba-tiba udah nikah aja deh, gue ditinggal," Adisa merespon setelah memandangi kertas undangan warna biru muda itu.
Mas Teo dan Joy merupakan pasangan kantor yang udah diakui kebucinannya oleh seluruh karyawan. Walaupun beda divisi, Joy di desainer grafis dan mas Teo di bagian percetakan, tapi keduanya tetep selalu punya waktu untuk makan siang bareng atau sekedar berangkat-pulang bersama. Makanya seisi kantor nggak terlalu kaget ketika mendengar kabar mereka mau menikah.
"Ntar lo dateng bawa cowok kek Dis, garing amat ke kondangan sendirian," tukas Joy sambil menyenggol pelan lengan Adisa.
"Maunya ya gitu, tapi sama siapa?"
Joy tiba-tiba mengangkat alis sambil tersenyum jahil, "Sama itu aja sih, si anak magang. Siapa namanya, Jenandra ya?"
"Gila aja lo, masa gue sama brondong?!" pekik Adisa setelah mendengar ide dari Joy yang menurutnya sangat gila.
"Elah, beda berapa tahun doang sih. Age is just a number baby."
Adisa menggeleng. Joy ini memang sudah gila. Jenandra Aditya jelas-jelas empat tahun lebih muda dari mereka, walaupun kalau dilihat sekilas kayak seumuran karena anak magang itu tubuhnya lumayan bongsor untuk cowok seumurannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON GOING] Ventisei // Kim Doyoung
Short StoryAdj. ventisei m or f (invariable) means twenty-six. "Jadi, bagaimana kalau keduanya dipertemukan saja?" A short fiction of Kim Doyoung written by kiwi. ©2020