05. Hati-hati

37 5 0
                                    

Setelah dua hari lembur berturut-turut, Adisa merasa seperti pertahanan tubuhnya runtuh. Tadi malam dia pulang jam sepuluh, sedangkan kemarinnya lagi baru sampai rumah pukul sebelas malam. Project sedang banyak-banyaknya. Dia tidak habis pikir kenapa bosnya dengan gila mengiyakan semua permintaan kerja sama.

Sebenarnya ia ingin ijin tidak masuk kerja hari ini, tapi mengingat Joy sudah ambil cuti menikah, mbak Egi yang bebannya dua kali lipat lebih berat karena harus mengurus bayi, dan Jenandra yang masih belajar dalam program magangnya, Adisa nggak punya pilihan lain kecuali memaksakan diri untuk tetap bekerja.

"Dis, are you okay?"

Tuh, bahkan mbak Egi pun menotice kondisi Adisa yang memang saat itu lagi nggak fit. Kantong matanya terlihat menggelap dan bibirnya pucat.

"Kepalaku pusing banget sih, mbak."

"Ijin setengah hari aja Dis, takutnya besok malah lo sakit," usul mbak Egi.

Adisa mengangguk pelan, kepalanya sakit banget sampai rasanya mau pecah, jadi dia rasa sebaiknya izin setengah hari saja.

"Tapi nggak papa mbak? Aku tinggal sama Jenandra doang?" tanya Adisa sungkan.

"Nggak apa-apa, kerjaan juga udah agak sela kok," jawab mbak Egi menenangkan.

Adisa akhirnya izin pulang setelah jam istirahat tiba. Dia pengen buru-buru sampai rumah, makan nasi lalu minum parasetamol dan tidur sampai malam nanti. Itu yang tubuhnya perlukan saat ini.

"Adisa? Mau kemana?"

Langkah Adisa terhenti di lobi kantor ketika seseorang menyapanya.

"Eh, kenapa Dis? Pucat banget wajahnya."

"Daffa? Kok disini?" bukannya menjawab, Adisa malah menanyakan hal lain karena dia juga bingung bagaimana Daffa bisa ada di kantornya sekarang.

"Janjian makan siang bareng Jenandra, kebetulan tadi ada urusan di deket sini. Lo nggak apa-apa?"

"Gue mau pulang, kayaknya nggak enak badan."

Mendengar itu, Daffa nggak bisa tinggal diam.

"Gue anter ya?"

"Terus Jenandra gimana?"

Daffa meraih tas Adisa lalu membawanya, "Gampang. Biar cari makan sendiri."

Adisa menurut, lagipula tidak ada gunanya dia menolak. Malah seharusnya dia bersyukur karena bertemu Daffa sekarang, rasanya dia tidak akan kuat kalau naik bis. Terbukti baru saja mendudukkan diri di mobil Daffa, dia sudah memejamkan mata karena saking tidak kuatnya menahan sakit kepala.

"Tidur dulu aja Dis, nanti gue bangunin kalau udah sampai."

"Makasih Daffa."

Dua kata sebelum Adisa terlelap, membuat Daffa tersenyum kecil karena itu kali pertama Adisa menyebut namanya. Daffa menjalankan mobilnya setelah mengabari Jenandra kalau mereka tidak jadi makan bareng siang ini. Ada sesuatu yang lebih penting, katanya.

Di balik kemudinya, Daffa sesekali melirik ke arah Adisa, memastikan kalau gadis itu baik-baik saja. Tidak butuh waktu lama buat mereka sampai ke rumah Adisa.

"Dis?" sambil menepuk tangannya pelan, Daffa mencoba membangunkan Adisa.

Adisa tidak bergeming, hanya membuka matanya sedikit, lalu bergumam sesuatu yang tidak terdengar jelas, "Nggak—kuat.."

Secepat itu. Adisa langsung ngedrop dalam kurang dari sepuluh menit perjalan mereka. Nggak bisa dibayangkan bagaimana jadinya gadis itu kalau tadi dia nekat pulang naik bis atau ojek online.

[ON GOING] Ventisei // Kim DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang