RAIN in HEAT

38 4 0
                                    

   Awan gempal  abu abu itu terus menangis sejak pagi.  Tidak ada yang tau apa sebabnya.  Orang orang merungkut dibalut pakaian tebal, mulutnya merapal gerutuan sepanjang hari karena jalanan licin dan aktivitas yang terganggu.

   Nadira menatap arloji yang memeluk pergelangan tangganya, sesekali melongok ke langit guna memastikan kapan si gemuk abu abu itu berhenti menangisi hari yang suram ini. Gerutuan mulai dirapal dari bibir tipisnya yang biasa menyunggingkan senyum manis,  kala jarum menunjuk angka lima.  Dengan pertimbangan singkat,  pada akhirnya gadis dengan rambut pendek itu menerobos tirai yang cukup rapat, berpayung telapak tangan dan tas berisi laptop dalam dekapan.

Tuhan memintanya untuk kembali menghela napas panjang sembari mengelus dada, kesialan belum usai. Bus yang akan mengantarkannya pulang terlambat dua puluh menit membiarkannya menggigil kedinginan dengan baju yang setengah basah. Ia benar-benar pasrah mengejar waktu yang menggilasnya.

   "Aku pulang! " serunya, yang kemudian disambut dengan alis tertaut , bibir maju mengerucut dan tangan yang dilipat di atas dada, kebiasaan senyum hangat dari seseorang yang selalu menunggunya di sofa ruang tamu itu lenyap begitu saja kali ini. " hari ini aku pulang terlambat. Hujan terus turun dan transportasi jadi lamban. " jelasnya dengan cepat kala lelakinya menunjukkan gerak gerik ingin memprotes karena menunggu terlalu lama, tangannya menutup pintu perlahan, kemudian berjalan mendekat ke sofa dimana lelakinya terus menatap seperti seorang polisi pada napi yang pernah kabur

   Dira duduk di lengan sofa, menyandarkan tubuh basahnya pada lelaki yang kini merengut sebal, ia berniat merayu "aku malas sekali belanja, jadi malam ini kita makan mie instan. Tapi sebelum itu, aku mandi dulu. Selamat menunggu kembali tuan pemarah. " kecupan kupu-kupu hinggap di pipi lelakinya. Dira melesat ke kamar mandi  di dalam kamarnya, diiringi cekikikan geli. Ah malunya, pipinya panas dan isi kepalanya tak bisa berhenti menghujat aksi nekatnya itu.

Disisi lain lelaki itu, kini hanya bisa menelan semua kata-kata berisi kekesalannya dengan pipi Semerah apel menahan
malu.

   Dirga. Lelaki itu selalu protes saat Dira hanya memasak sesuatu yang instan.  Lelaki merepotkan akan mengeluarkan sabda yang berjuta kali didengarnya, " makanan tidak sehat membuatmu cepat bertemu tuhan. Gizi buruk, dan penyakitan." mentang mentang ibunya dokter gigi jadi mudah saja baginya mengatakan begitu pada makanan yang sudah menyelamatkan banyak nyawa kaum miskin, seperti Dira.



  Dira sengaja menyeruput mienya kuat kuat sampai terdengar seperti video mukbang yang biasa di tontonya.  Terserah suaminya itu mau menatapnya jijik atau apa pun. Mie instan kuah super pedas adalah nikmat dunia terlebih setelah kehujanan tadi.

"harusnya tadi berteduh dulu, kenapa malah hujan hujanan, bocah. Bukanya tadi pagi kau bawa payung?"

Dira mengangkat wajahnya dari mangkuk. Terbatuk, sebelum dengan panik meraih segelas teh hangat miliknya. " kau benar! " serunya, menggebrak meja, Dirga nyaris terjungkal kebelakang. "aku meninggalkan payung di bawah meja kerjaku. " Dira merengek dengan kebodohannya sendiri sambil menggigiti sendok seperti orang idiot.

Dirga menyerah dengan kelakuan absurd wanita miliknya itu. "harusnya kau gantung di leher biar selalu ingat. " satu gelas teh hangat miliknya tandas.  Dira segera mengisinya kembali,  kali ini dengan tambahan dua  kotak gula batu.

Niatnya setelah ini mereka akan menonton film horor. Gadis itu yang memaksa, sementara Dirga bersumpah tidak akan melakukannya jika saja bukan untuk mendapat izin membeli PS5 incarannya.

"apa aku juga perlu menggantung mu di leherku, agar tidak pulang terlambat dan melupakanmu? " Dira merapikan piring kotor,  untuk dicuci di wastafel.

RAIN in HEATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang