Sudah bukan hal yang mengejutkan lagi jika seseorang berkata bahwa mereka benci hari senin.
Entah itu kalangan para murid sekolahan atau pekerja.
Termasuk Kirana.
Padahal bisa dibilang SMANSABA itu sekolah yang cukup luas. Lapangan indoornya saja ada tiga dan besar semua.
Tapi mengapa mereka selalu saja mengadakan apel pagi di luar. Kirana benar benar tidak bisa mengerti itu.
Bahkan meski sudah memakai topi, teriknya matahari itu tetap saja menusuk mata membuat dirinya terus terusan mengeluh dan mengumpat kesal.
Ditambah celotehan kepala sekolah yang ga kunjung selsai sejak setengah jam yang lalu benar benar menambah emosi dan menguji kesabarannya.
"Ran, lu pernah mikir ga sih kenapa ayam kakinya dua?"
Untuk kesekian kalinya Brian yang berdiri disebelah Kirana berbisik pelan. Mencoba menghilangkan bosan dan menghabiskan waktu dengan mengganggu cewe pendek nan emosian disebelahnya.
Kirana mendelik. "Gabut amat hidup lo, mikirin ayam."
"Hidup gue ga tenang soalnya, kepikiran terus tau!"
"Ya lu tinggal pikirin yang laen, apa susahnya?"
"Contohnya?"
"Gatau lu pikir aja sendiri."
"Yang terlintas di otak gue tinggal elo doang, Ran. Kalau mikirin lo boleh, ga?"
Kirana diam sebentar. Menoleh pada Brian yang sudah tersenyum nista dan menaik turunkan sebelah alisnya menggoda.
"Ga! Gue bukan ayam."
***
"Yuma, kata pak Congrats kertas ujian kemaren mana?" teriak Kirana berjalan masuk ke kelas menghampiri Yuma yang duduk di pojokan dan sibuk main hape.
Keadaan hening. Yuma ga langsung jawab atau bahkan mungkin ga denger. Dikit dikit ketawa kaya orang gila sambil natap layar.
Kirana narik nafas mencoba sabar, kembali mengulang pertanyaan. "Yum, lu denger ga si? Itu si Rahma manggil dari tadi."
"Rahma mana?"
Yuma yang langsung konek denger nama cewe noleh ke depan.
Kirana diem natap tajam Yuma penuh kebencian sebelum mendekat dan ngambil lembaran kertas yang ada di dalam tas setengah terbuka di kursi sebelah Yuma.
"Rahmatullah!"
***
"Yang ini udah gue revisi, lu print ulang ya, Ma. Ini juga udah, lu tinggal ketik ulang yang gue stabilo-in aja."
Kirana menjelaskan satu persatu tumpukan kertas yang ada di meja sana. Terdiam ketika menyadari kalau Yuma tak mendengarkan dan asik main hape.
"Lu dengerin gue ga sih, Yuma?" Kirana kesal, hendak melayangkan protes.
"Hah? Oh iya, dengerin kok."
"Gue bilang apa emang tadi?"
"Udah lah, nanti gue periksa ulang lagi dirumah. Lu tau beres aja." bukanya menjawab, Yuma malah melayangkan pernyataan lain.
Seolah kesibukannya memang tidak bisa di ganggu siapapun.
"Lu yakin ga mau gue bantu?"
"Iyee."
Yuma menjawab tanpa menoleh. Kirana menghela nafas berat lelah.
"Lu di panggil pa Soleh tuh Ma, sana cepet."
"Iya nanti."
"Tugas kimia kemaren udah? Gue nyontek dong, Ma."
Dengan cepat Yuma menyodorkan buku tebal di dekatnya yang berjudul Undang-Undang Dasar dan langsung Kirana ambil dan masukkan ke dalam tas.
Kirana masih sabar. Ia meraih hape di tasnya, menekan tombol rekam suara dan bersiap bicara.
"Katanya pembalut si Rina kemaren ilang. Lu yang ambil ya, Yuma?"
"Iya."
***
"Gue jadi penasaran secantik apasi cewe yang namanya Acha Acha ntu sampe bikin si Yuma jadi cowo ga bener gini." Kirana berceletuk, menyedot minuman coklat dingin di tangan sembari menoleh pada Yuma yang saat ini tengah duduk di meja kantin.
Dirinya masih sibuk main hape, sesekali tertawa sembari menyuapkan makanan ke mulut tanpa menyadari bahwa orang yang duduk di sekitarnya itu perempuan.
Brian yang duduk di sebrang Kirana sendawa. Menyeruput minumannya sembari ikut menoleh kearah pandang mata Kirana tertuju. "Setidaknya dia bukan cewe good-good."
"Good?"
Brian diam, menaikan sebelah alisnya dan lanjut makan. "Gue pacaran sama si Icha waktu itu gegara gosip."
Lelaki itu mulai bercerita disela makan membuat Kirana langsung melipat dada dan mendengarkan serius. Bahkan Harsa yang tak pernah tertarik dengan bahan gosip pun langsung melepas sebelah earphonenya mencoba mencuri dengar.
"Waktu itu si Icha ngancem gue bakal nyebarin foto yang, ada lah kalau sampe nolak pacaran sama dia."
"Foto bugil lo sama cewe ya?" Tebak Harsa curiga.
Brian balas tersenyum. "Lu tuh mikir apa sih tentang gue, Sa? Gue cuman berusaha menjadi cowo ramah bukannya pandai menjamah."
"Tapi ramah lo ngeselin. Ngelibatin perasaan orang!" Kirana menyemprot tak terima.
"Terus? Hubungannya sama gue apa?"
"Lo-
"Kalian yang baper harus gue yang repot pacarin kalian gitu?"
Kirana yang diserang seketika menyipitkan mata jijik. "Sejak kapan gue bilang baper sama lo?"
Brian tersenyum lebar. "Karna itu gue suka sama lo!" Yang dibalas acungan jari tengah Kirana.
"Si Yuma keliatannya udah keburu bucin ama tu cewe, kalau ga diperingatin, yang ada mental breakdance dia disakitin temennya tapasya." Harsa noleh, natep malas Yuma yang masih ga sadar diketawain cewe cewe di dekatnya.
"Tapasya siapa lagi, anjir?"
Kirana noleh pada Harsa yang berceletuk.
"Temennya si Icha, kan?" jawab Harsa polos.
"Lah, lu kenal mereka? Kok bisa?"
"Yaa ... Karna gue nonton."
Kirana mengerutkan kening ga ngerti. Harsa tersenyum kaku, merasa canggung hendak melawak tapi ga sampai.
"Itu Icha uttaran goblok! Beda Icha inii." Sela Brian terkekeh membuat Harsa mengalihkan pandangan ke samping malu.
Kirana masih aja ga-ngeh dengan topik pembicaraan yang dibahas mereka berdua. Merasa terkhianati karna hanya dirinya yang tidak kenal dengan Icha.
"Itu uttaran siapa lagi, dah?"
Dan membuat atmosfer disekitar meja mereka jadi sunyi dan makin canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Feelings
FanfictionNyari temen sefrekuensi itu susah. Sekalinya ketemu malah lawan jenis. Awalnya pengen temenan aja, tapi Kirana mau serakah. Tapi doinya ga peka. Jadi ya gitu. Padahal Kirana itu bisa dibilang orang cakep. Dia gapernah keliatan suka cowo, sekaliny...