Satu

77 6 0
                                    

Siapapun...

Tangan menjijikkan itu mengelus pipiku. Tangan kasar penuh darah itu meninggalkan jejak basah yang menyatu dengan air mataku.

"Halo gadis kecil."

Gigi-gigi kuning itu terpapang di depan wajahku. Membuat tubuhku gemetaran hebat.

Apapun...

Aku mundur secara perlahan. Namun kurungan yang mengukungku terlalu sempit.

Pria itu kembali meraih ke arahku. Jemari kasarnya merenggutku ke pintu kurungan. Aku berusaha memberontak sekuat tenaga.

Tolong kami...

Tubuhku dibanting ke atas sebuah ranjang mewah. Sebelum aku sempat beraksi, pria yang melemparku tadi terlempar jauh membentur tembok hingga retak.

Aku menjerit ketakutan melihat darah yang menetes menggenangi lantai.

Kami mohon...

Aku meloncat turun dari ranjang dan berlari ke arah pintu keluar.

Tiba-tiba tubuhku membentur sesuatu yang keras. Manikku bertemu dengan manik semerah darah milik seorang pria yang sangat tampan.

Aku dapat merasakan betapa berbahayanya pria itu.

Mama... Papa... aku takut.

"Ah~ setelah sekian lama. Akhirnya kita dapat berjumpa."

Pria itu menatapku dengan tatapan lapar yang kentara. Aku berbalik untuk kabur tapi tangan pria itu meraih tubuhku untuk di dekap erat. Dengan perlahan kepalaku dimiringkan ke kiri.

Sesuatu yang lembab menyusuri leherku yang berkeringat. Jantungku berhenti berdetak ketika aku mendengar desisan mengerikan.

"Selamat Makan, Sayang."

Tolong...

Crashh...

***

KYAAA...

Aku terbangun dengan terengah-engah. Jantungku berdebar sangat kencang. Bagian itu terasa sangat panas dan menyakitkan.

"Chelsea?"

Aku menoleh ke sisi kananku. Tampak Rozi –salah satu teman sekelasku, menatapku dengan khawatir. Tangannya mendekat ke wajahku. Refleks aku menepisnya dengan keras. Bukan hanya Rozi, aku pun ikut terkejut dengan sikapku.

"M-maaf. Aku tidak apa-apa. Hanya mimpi buruk."

"Oh, oke..." Sekilas aku dapat melihat sorot kecewa dari manik kelabu itu. "Kalau kamu ada masalah, kamu dapat menceritakannya padaku."

"Eh?" aku melempar tatapan bingung padanya. Namun disambut dengan senyum lembutnya.

"Biasanya orang bermimpi buruk saat memiliki masalah atau trauma. Aku lihat kau selalu gelisah ketika tertidur di perpustakaan ini."

Dia memandangiku yang sedang tidur?

Seolah dapat membaca isi kepalaku, pemuda itu buru-buru meralat ucapannya. "Bukan seperti itu, a-aku tidak memandangimu. Hanya melihat. Eh hanya sekilas. A-aku melihat keringatmu bercucuran padahal ruangan ini ber AC. Lalu sesekali kau akan mendesis meminta tolong. S-sungguh ak-"

"Rozi." Aku tersenyum kecil sembari menepuk pundaknya ringan. "Thanks, ya. aku nggak apa-apa, kok."

Dengan cepat aku membereskan buku di meja dan mengembalikannya ke rak yang sesuai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eternal SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang