Prolog

111 4 0
                                    

Panas...

Haus...

Siapa pun...

tolong...

tolong aku...

Ini menyakitkan...

Aku membuka mata perlahan. Dimana ini?

"Kau sudah bangun Vee? Bagaimana perasaanmu?"

Aku menoleh ke sebelah kiriku. Seorang pria dengan rambut pirang nyaris perak, memperhatikanku dengan tatapan intens. Pria itu memakai baju bangsawan kuno bewarna hitam. Aku berusaha duduk.

"apa kau sudah mengingatnya?"

Aku hanya diam. Tak mempedulikan pertanyaannya. Aku hanya memperhatikan leher jenjangnya. Ada sesuatu disana yang memanggil-manggil diriku untuk mengecapnya. Tapi, hati kecilku terus menolak, membuat kepalaku terasa sakit dan tenggorokanku serasa terbakar.

Sebuah sentuhan di pipiku membuat aku tersadar dari peperangan batin. Aku pun menatap manik birunya.

Kenapa kesepian? Ada aku disini.

Kenapa ketakutan? Aku baik-baik saja.

"kenapa kau menangis, vee?"

Pria itu mengusap pipiku dengan lembut. Tersirat kekhawatiran di wajah tampan itu. Sebuah isakan keluar dari bibirku. Aku tidak tau kenapa, tapi sebuah emosi mulai menyeruak dari dalam dadaku.

Aku merindukan dirinya.

Aku menarik kerah bajunya, lalu menempelkan bibirku ke bibirnya. Kami hanya diam saling menatap dalam keheningan. Dari jarak sedekat ini aku dapat melihat manik birunya yang indah, seperti bongkahan permata.

Perlahan aku mulai menggerakkan bibirku. Melumat rasa manis yang aku rindukan. Atas, bawah, atas, bawah. Bergantian dengan sangat perlahan.

Pria itu hanya diam melihat tingkahku. Itu membuatku merasa kesal. Kenapa dia tidak membalasku? Apa dia tak menyukainya.

Aku pun menggerang frustasi, mendorong dirinya sampai terbaring di ranjang. Aku menaiki tubuhnya. Duduk di perut rata namun keras itu. Aku semakin memperdalam ciumanku.

Memaksa lidahku masuk untuk menjelajahi mulutnya. Aku berhenti saat merasakan sesuatu yang tajam di lidahku.

Aku lepaskan ciuman itu dan mengangkat sedikit tubuhku yang tadinya menempel pada tubuhnya.

Pria itu menatap dengan sebelah alis terangkat saat aku memiringkan kepala kebingungan.

"ada apa?"

Sebelah tanganku bergerak, membelai bibir tipisnya, kemudian membuka mulutnya.

Pemandangan dibaliknya membuatku tersentak ketakutan. Aku segera menggeser tubuhku mundur dengan cepat. Namun, kalah cepat dengan tangan pria itu yang menahan pinggangku erat.

"tenanglah... jangan takut."

Pria itu mendudukkan dirinya, membuat diriku terduduk dipangkuannya.

"Lanjutkanlah. Jangan ragu-ragu. Aku tau kau menginginkannya." Ujar pria itu sebelum kembali menciumku.

Lembut. Aku kembali terhanyut dengan permainan bibir dan lidahnya. Mulai mengalungkan kedua tanganku pada lehernya. Merapatkan tubuhku padanya.

Aku ingin lebih...

Aku kembali terisak saat pemikiran itu menghampiri kepalaku.

"sstt... jangan menangis. Tidak apa-apa... lakukan apa yang ingin kau lakukan."

Eternal SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang