Khilaf

544 2 0
                                    


Bab 1 ini saya kasih rate 18+ ya, karena mengandung konten dewasa, tapi gak parah kok. Hihi ...

Happy reading! 😍

Pagi-pagi aku dikejutkan dengan suara berisik di depan rumah. Kutinggalkan kegiatan di dapur demi melihat apa yang terjadi.

"Siapa sih pagi-pagi udah bikin ribut?" gerutuku sambil tergopoh-gopoh menuju ruang depan karena didera penasaran.

Aku mengintip lewat jendela ruang tamu. Kusibak gorden, tampak di garasi Mas Riko berkacak pinggang memaki-maki si Paijo, sopir pribadiku.

"Kalau bukan permintaan istriku, udah kupecat kamu! Kerja gak becus!" bentak Mas Riko salah satu tangannya menunjuk-nunjuk Paijo. Suara suamiku membahana seantero halaman.

Sedang yang menjadi objek emosi Mas Riko hanya menunduk pasrah. Ada rasa iba dalam hatiku. Sebenarnya apa sih masalahnya sampai Mas Riko semarah itu. Walaupun cuma seorang sopir seharusnya Mas Riko tidak semena-mena terhadapnya. Paijo kan juga punya perasaan.

"Ada apa sih Mas, kok ribut-ribut?" Aku menghampiri mereka. Bermaksud melerai. Tidak baik kan pagi-pagi sudah mengeluarkan urat. Apalagi kami tinggal di perumahan yang bisa dikatakan elit, jangankan suara ribut pertengkaran, suara kucing saja jarang terdengar.

"Kenapa? Kamu mau ngebelain dia lagi, hah?! Apa karena dia lebih cakep dari aku!" Mas Riko beralih marah padaku.

"Loh, kok Mas jadi ngelantur gini. Aku kan nanya baik-baik," balasku sewot. 

Memang sih, setiap Mas Riko menyalahkan Paijo, tanpa sadar aku membelanya. Bukannya apa, tapi aku hanya prihatin pada Paijo. Dia menjalani kehidupan yang berat. Karena kesalahanku, dia harus menjadi sopir demi keluarganya.

Aku mengalami kecelakaan dua bulan yang lalu. Saat itu aku mengendarai mobil sendiri, dan menabrak seorang pedagang bakso di pinggir jalan yang ternyata adalah ayah Paijo. Akibatnya ayah Paijo mengalami patah tulang di kakinya karena tertimpa gerobak baksonya.

Saat ini ayahnya yang merupakan tulang punggung keluarga tidak bisa berjualan bakso lagi. Demi menebus kesalahan itu, aku memperkerjakan Paijo sebagai sopir agar keluarganya tetap bisa menyambung hidup. Hanya Paijo satu-satunya yang jadi harapan keluarganya.

"Percuma juga jelasin ke kamu, ujung-ujungnya pasti belain si kunyuk ini!" geramnya sambil menunjuk muka Paijo.

"Ya iya lah, aku pasti belain kalau dia gak bikin salah," sahutku meninggi.

Mas Riko berdecak kesal. Lalu matanya menatapku sinis.

"Aku curiga, jangan-jangan kamu ada main sama si Paijo," lanjutnya.

Mataku memanas. Egoku tercabik. Kecurigaan yang tak berdasar. Aku dengan Paijo? Ayolah, memangnya tidak ada pria lain hingga aku harus selingkuh dengan seorang ... sopir!

Walaupun aku tak menampik apa yang dikatakan Mas Riko, bahwa Paijo memang berparas tampan. Untuk ukuran seorang sopir dia memang beda dari kebanyakan. Apalagi umurnya yang masih muda. Kira-kira 3 tahun atau 4 tahun di bawah Mas Riko.

"Terserah kamu deh, Mas!" seruku sambil berlalu. Ah, capek kalau harus meladeni laki-laki keras kepala seperti dia. Nanti aku bisa stress. Huh!

Enak saja dia bilang aku ada main sama Paijo. Justru seharusnya aku yang curiga sama dia, belakangan ini gelagatnya seperti tengah menyembunyikan sesuatu.

Awas ya, Mas! Kita buktikan sebenarnya siapa di antara kita yang ada main di belakang.

***

Jam sembilan pagi, aku sudah siap untuk pergi ke butik tempatku bekerja. Karena milik sendiri, jadi aku bisa sesuka hati kapan saja mengunjunginya.

Hampir setengah jam aku menunggu Paijo. Tapi tak ada ia tampak batang hidungnya. Dipanggil juga tak ada jawaban. Kuputuskan untuk meneleponnya.

Suara operator menjawab. Aku mulai kesal. Tumben tuh anak gak ontime. Biasanya dia selalu stand by di depan bersama pak satpam menunggu panggilan dariku.

"Ke mana sih dia?" Kumasukkan ponsel ke tas dengan kasar.

"Non Raya, ada apa kok keliatan kesel gitu?" tanya Mbok Sani, ART ku, yang baru selesai menjemur pakaian di halaman belakang.

"Si Paijo, Mbok. Ditelepon gak diangkat. Dicariin juga gak ketemu," jawabku.

"Lah tadi saya liat dia ke kamar belakang, Non. Habis dimarahi Pak Riko dia ngeluh pusing katanya," jelas Mbok Sani.

Setelah mendengar info dari Mbok Sani, tanpa menunggu lama aku segera menuju kamar berukuran 3x3 meter yang terletak di bagian belakang rumah. Kamar yang biasa dijadikan istirahat sopir atau satpam.

"Jo, Paijo! Kamu di dalam?" Kupanggil Paijo sambil mengetuk pintu.

Tak ada sahutan. Kupanggil sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Tetap saja, hening.

Kuberanikan mendorong pintu perlahan agar tak menimbulkan suara. Agak takut juga sih sebenarnya. Udah kayak maling aja, padahal di rumah sendiri.

Jantungku berdegup kencang, baru kali ini aku memasuki kamar orang asing, laki-laki pula.

Pintu sudah terbuka sempurna. Ternyata si Paijo sedang tidur. Posisinya meringkuk seperti orang kedinginan menghadap dinding membelakangiku.

"Jo!" panggilku dengan suara tertahan.

Aku melangkah pelan mendekatinya ke kasur berukuran single yang terhampar di lantai. Dengan sedikit membungkukkan badan, aku membangunkannya dengan sedikit tepukan agar ia segera tersadar.

Sekali dua kali tepukan tak ada respon, akhirnya kugoncang lengannya. Ia menggeliat, berbalik, lalu tiba-tiba tangannya meraih lenganku hingga aku terjatuh ke pelukannya. Alhasil wajahku tepat berada di atas wajahnya yang masih terpejam dengan lengan yang masih digenggamnya.

Aku terbelalak. Jantungku berdegup cepat. Jarak kami sangat dekat hingga hembusan napas Paijo menyapu wajah. Kutatap wajahnya, seketika desiran aneh menyerang.

Kalau dilihat-lihat, dia beneran ganteng. Pantas saja Mas Riko merasa minder sama dia. Kalau dibandingkan memang Mas Riko lebih cakepan si Paijo sih. Duh, kalau Mas Riko sampai tahu kalau aku bandingin, pasti uring-uringan.

Hanya satu kekurangan Paijo, ia tidak pandai merawat diri. Dilihat dari jambang tipisnya yang tumbuh di sekitar pipi. Juga dari segi pakaiannya yang kurang rapi. Terkesan seperti preman kampung.

Wajah Paijo tercetak jelas di depan mataku. Dalam hati aku memang mengagumi parasnya yang sempurna. Bulu matanya panjang, alisnya tebal, hidung mancung dan bibirnya ....

Ya Ampun, kenapa sampai di bibir pikiranku malah macam-macam. Hush, enyah kau pikiran kotor! Ingat, Raya kamu itu sudah memiliki Riko, jangan macam-macam. Batinku mengingatkan.

Untuk situasi sesensitif ini memang membutuhkan kekuatan yang besar menghadapi godaan setan. Harus pandai-pandai menahan diri agar tidak jatuh pada lembah dosa. Namun, sepertinya itu hanya sebuah teori bagiku, nyatanya aku hanyalah manusia lemah yang tidak punya kekuatan itu.

Tanpa sadar aku mendaratkan  kecupan di pipinya, napasku memburu tak beraturan, jantungku juga bertalu lebih cepat dari yang semestinya. Mungkin sekarang setan sedang bersorak dengan kemenangannya.

Hanya kecupan singkat setelah itu aku tersadar. Wajahku terangkat untuk menjauh, tapi detik berikutnya aku dibuat gelagapan dengan apa yang Paijo lakukan. Dia membalas kecupanku dengan mengulum bibirku seutuhnya.

Tuhan, ampuni aku!

Rahasiaku dengan Sopir PribadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang