part 3

52 0 0
                                    

"Karin ...."

Igauan Mas Riko sangat jelas. Aku tertegun sejenak. Karin?

Lagi-lagi nama itu terdengar. Siapa sih sebenarnya Karin itu?Apakah Karin yang Mas Riko sebut sama dengan Karin-nya Paijo? Pikiranku mulai menerka-nerka. Jangan-jangan dia selingkuhan Mas Riko.

Walaupun Mas Riko keras kepala, tapi saat tahu ia menyebut nama wanita lain, ada nyeri di sudut hati. Jauh lebih sakit dari sekedar mendapat amarah darinya.

Karena walau bagaimanapun kami pernah merasakan masa-masa indah bersama, pernah merasakan manisnya cinta hingga berlabuh ke pelaminan. Terlepas dari sifat buruknya yang tak pernah kutahu dulu.

Besoknya dengan segenap keberanian, kutanyakan tentang Karin pada Mas Riko. Daripada dibuat penasaran mending ditanyakan saja biar jelas. Agar aku tidak menduga yang bukan-bukan. Aku tidak ingin bahtera rumah tanggaku karam hanya karena sebuah nama.

"Mas, Siapa Karin?" tembakku saat kami sarapan bersama.

Tangan Mas Riko terhenti saat ia hendak menyuap nasi ke mulutnya. Kulihat ia tersentak sedikit. Namun, wajahnya kembali normal. Pandai sekali ia menyembunyikannya.

"Siapa Karin?" ulangku dengan tatapan menyelidik.

"Karin siapa?" Eh dia malah balik nanya dengan ekspresi pura-pura bego.

"Gak usah pura-pura. Tadi malam kamu nyebut nama dia, gak cuma satu kali loh. Siapa dia, Mas?" Desakku.

"Masa sih, kok aku gak tau." sahutnya cuek.

Mas Riko tetap asyik menyantap makanannya tanpa mempedulikan rasa penasaranku.

"Mas, serius nih. Siapa Karin? Kamu memang gak sadar waktu nyebutinnya, tapi tetap aja itu aneh. Berarti dia orang spesial yang sampe terbawa ke alam bawah sadar kamu."

"Ya aku gak ingat lah, kan katamu aku lagi gak sadar, gimana sih. Ya udahlah gak usah dibahas, lagian cuma sebuah nama aja kok. Ehm ... mumpung sekarang lagi libur kita ke rumah mama yuk, udah lama kan gak kesana." 

Aku merengut mendengar jawabannya. Dia malah mengalihkan topik agar aku berhenti bertanya soal Karin. Baiklah, kali ini aku akan memakluminya. Mungkin dia memang benar-benar gak kenal yang namanya Karin. Daripada suasana jadi panas mending stop pembahasan tentang Karin.

Selesai sarapan kami berangkat ke rumah orang tua Mas Riko.

Sebenarnya aku malas pergi ke rumah orang tua Mas Riko. Akhir-akhir ini hubunganku dengan mereka kurang begitu baik. Setiap aku mengunjungi mereka, sering aku mendapat sindiran lantaran belum juga punya momongan.

Alasan klasik yang sering kita temui di setiap masalah rumah tangga adalah perihal keturunan. Inilah yang sering dialami sebagian wanita, termasuk aku. Mereka pikir aku mandul karena pernikahan yang sudah lima tahun berjalan belum juga dikaruniai anak.

Mereka hanya belum tahu saja bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan anak. Segala macam cara sudah kulakukan. Mulai dari tidak pakai kontrasepsi, berobat ke dokter, bahakan minum vitamin kesuburan. Tapi tetap saja gagal. Sekeras-kerasnya berusaha, jika Tuhan belum memberi, kita bisa apa? Tugas kita hanya berusaha dan bersabar. Udah itu aja.

Semoga nanti mereka; lebih tepatnya ibu mertua, tidak akan menyinggungku soal anak lagi. Sumpah, aku beneran capek kalau bahas itu lagi.

Kali ini Mas Riko enggan membawa mobil sendiri katanya masih agak pusing untuk menyetir akibat mabuk semalam. Alhasil ia menyuruh Paijo untuk menyupir ke rumah mertua.

Di perjalanan sesekali aku melirik pada Paijo lewat spion, lagi-lagi aku harus membuang pandangan kala tatapan kami bertemu. Tentunya ini kulakukan tanpa sepengetahuan Mas Riko. Sejak tadi ia hanya fokus pada gawainya.

Sampailah kami di rumah orang tua Mas Riko yang megah. Rumah yang kutinggalkan dua tahun lalu karena Mas Riko ingin mandiri, juga fokus pada program untuk mendapatkan anak.

"Kamu udah dateng, Rik. Sini dulu ada yang mau Mama omongin," sambut Mama saat kami sudah di depan pintu.

Dia menarik tangan Mas Riko tanpa menoleh barang sedetikpun padaku. Aku hanya bisa mengelus dada melihat kelakuan mama. Sudah biasa dia memperlakukanku seperti ini.

Dilihat dari raut wajahnya sepertinya Mama sudah tahu kedatangan kami. Mungkin Mas Riko sudah menghubunginya tadi. Apa yang mau mereka omongin ya, sampai-sampai mereka harus menjauh dariku.

Jiwa penasaranku meronta. Diam-diam kuikuti mereka yang mengarah ke kamar Mama. Untunglah pintunya tidak tertutup rapat sehingga aku bisa leluasa mendengarnya.

".... kamu harus rahasiain dari Raya ...."

"Iya, tapi tadi malam ...."

Mereka bicara apa sih, aku cuma mendengar sepotong-sepotong kalimat yang tidak jelas. Aku juga sempat mendengar namaku disebut-sebut.

"Ngapain di situ, Mbak?"

Aku tersentak kaget saat tiba-tiba ada seseorang menepuk bahuku. Hampir saja jantungku copot. Ternyata Rena—adik Mas Riko— sudah berdiri di belakangku dengan raut heran.

Belum sempat menjawab pertanyaan Rena, pintu kamar Mama terbuka lebar.

"Kamu nguping ya?" semprot Mama. Tatapannya menghujam ke arahku.

"Eng–nggak kok, Ma. Aku baru aja mau manggil Mas Riko, itu tadi si Paijo ada perlu katanya," kilahku. Aduh, udah ketahuan nguping masih bisa ngeles lagi.

Rena yang tidak tahu apa-apa hanya melongo bingung. Sambil garuk-garuk kepala ia berlalu meninggalkan kami.

"Ada apa sama Paijo?" Mas Riko muncul dari balik pintu.

"Gak tau, Mas. Katanya ada perlu," sahutku mencari alasan.

Gara-gara Rena nih. Aku jadi ketahuan kan. Padahal tadi sedikit lagi aku bisa menangkap jelas obrolan mereka.

Mas Riko pun keluar untuk bertemu Paijo, memastikan apa yang kusampaikan. Sedangkan mama berjalan ke dapur setelah sebelumnya menatapku sinis.

"Paijo, ada perlu apa sampe kirim pesan lewat Raya," ujar Mas Riko sesampainya di pos satpam tempat Paijo menunggu kami.

"Eh, saya gak—"

"Tadi kan kamu bilang sama aku, Jo. Mau izin kemana gitu," potongku dengan mengedipkan mata memberi isyarat padanya. Semoga ia paham maksudku.

Ia mengernyit. Melirikku memohon penjelasan. Kuanggukkan kepala.

"Ah i–iya, Pak. Saya mau izin beli obat buat bapak saya, kalau boleh," jawab Paijo terbata.

Pinter juga Paijo berakting.

"Oh, cuma itu aja, ngapain izin segala sih. Ya udah sana pergi." Mas Riko tampak kesal. Lantas ia masuk kembali ke rumah.

Fiuhh, syukurlah Paijo paham maksudku. Tapi, tetap saja aku penasaran, apa sih yang Mas Riko dan Mama omongin?

Jangan lupa vote nya 🥰

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rahasiaku dengan Sopir PribadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang