Siapa Karin?

288 1 0
                                    

Tidaaak! Ini salah. Ini tidak boleh terjadi. Aku harus segera pergi sebelum terlalu jauh dan setan semakin membisikkan nyanyiannya.

Aku tersentak dan segera melepas tautan bibirnya. Paijo masih terpejam.

Dasar! Di saat begini, bisa-bisanya ia tertidur pulas. Masa sampai gak sadar kalau sudah menodai bibirku. Ah, sebenarnya akulah yang memulainya.

Pelan-pelan aku beringsut menjauh dari tempat tidurnya. Bisa berabe kalau sampai ada yang tau.

"Karin ...." desisnya, membuatku terhenyak.

Karin? Siapa Karin? Jangan-jangan tadi ia sedang memimpikan seseorang yang bernama Karin itu lalu melampiaskannya padaku? Syukurlah jika memang kejadian tadi ia anggap mimpi. Kalau tidak, entah bagaimana mukaku di depannya.

Tapi, kenapa hatiku merasa gak enak mendengar nama Karin. Jangan-jangan aku cemburu. Ah tidak, ini cuma kesalahan. Anggap tidak ada apa-apa, secepatnya aku harus pergi dari sini.

"Non Raya?" panggil Paijo yang membuatku menghentikan langkah menuju pintu.

"Eh, ka-kamu sudah bangun, Jo. Aku dengar katanya kamu pusing, jadi aku ke sini buat mastiin," jawabku kikuk lalu berusaha bersikap normal padanya. Padahal dada ini masih bergemuruh hebat mengingat kejadian tadi.

"Ah iya, Non, maaf saya ketiduran. Apa kita berangkat sekarang?" Dia menyibak selimut dan berdiri siap-siap mengantarku.

"Gak usah, kamu istirahat aja. Kata Mbok Sani kamu lagi pusing. O ya, jangan lupa minum obat. Biar aku naik taksi aja," cegahku.

"Saya baik-baik saja kok, Non. Tadi sudah cukup istirahat," kilahnya. Padahal kulihat wajahnya masih sedikit pucat.

"Aku bilang gak usah, ya gak usah. Susah amat sih dibilangin!" seruku yang membuatnya kaget.

"Ba-baik, Non." jawabnya sungkan.

Mungkin reaksiku terlalu berlebihan, tapi biarlah. Untuk saat ini aku tidak mau berdekatan dengannya dulu.  Aku sengaja melarangnya menyetir dengan dalih kesehatannya takut tambah parah. Biarkan aku menetralisir keadaan hati ini dulu, setelah tadi melakukan sebuah kekhilafan yang besar.

***

Aku tak habis pikir dengan apa yang kulakukan. Sampai saat ini pun kejadian tadi masih berkelebat di pikiranku. Bahkan masih terasa sentuhan lembut dari bibir Paijo. Biasanya laki-laki yang lebih agresif, ini terbalik, malah aku yang tak bisa menahan diri. Duh!

Sore hari, aku melihat Paijo sudah menunggu di parkiran. Tadi aku memang meneleponnya untuk menjemput. Tentunya setelah menanyakan keadaannya, dan dia bilang sudah sembuh. Bagaimanapun dia tetap seorang sopir, yang harus menjalankan tugasnya terlepas dari kejadian pagi tadi.

Biarlah itu hanya menjadi rahasiaku, toh dia juga tidak menyadarinya. Aku hanya harus menyembunyikannya dari siapapun atau mungkin melupakannya.

"Paijo," panggilku setelah mobil mulai melaju.

Jujur, aku masih merasakan desiran aneh saat berada di dekatnya. Kadang aku mencuri pandang lewat spion dan langsung tertuju pada bibirnya. Sial!

"Iya, Non." jawabnya sopan.

Selama bekerja denganku, kuperhatikan Paijo memang sopan dan ramah sama siapa saja. Ia juga jarang bicara. Entah mungkin karena aku belum mengenalnya secara dekat. Secara dia kerja juga belum genap sebulan.

"Tadi pagi kenapa sampai di marahi Mas Riko?" tanyaku.

"Ah itu, Non. Saya kesiangan, padahal ada tugas dari Pak Riko buat bersihin mobilnya," terangnya.

"Kan itu tugasnya Pak Nurdin?"

"Saya kurang tau, Non. Dikasih perintah ya dikerjain saja."

Dasar, Mas Riko. Sebenarnya dia sendiri yang cari gara-gara. Sebegitu bencinya kah pada Paijo. Aku perhatikan memang dari sejak Paijo mulai kerja, dia sering memberi tugas yang lebih berat padanya, padahal sudah ada Pak Nurdin, sopirnya sendiri.

"Lain kali kamu tolak dong, kalau memang gak mampu. Biar Mas Riko gak semena-mena sama kamu," ujarku.

"Ah, gak apa-apa kok, Non. Kan dia majikan saya juga," jawabnya sambil tersenyum. Manis banget senyumnya. Aih, masih saja aku mikir yang aneh-aneh.

Tiba-tiba aku teringat nama "Karin" yang disebut Paijo. Aku tanya gak ya, siapa dia? Soalnya aku sedikit kesal juga sih, masa dia mimpi sama Karin pelampiasannya sama aku.

"O ya, Karin itu siapa?" Akhirnya meluncur juga nama itu. Kulihat Paijo dari spion. Wajahnya terlihat pias.

"Karin?" tanyanya mengulang. Dia melirik pada spion, lalu mata kami beradu. Aku melengos membuang pandangan. Gak kuat berlama-lama melihat wajahnya. Selalu teringat insiden tadi pagi.

"Iya, Karin. Tadi waktu saya bangunin kamu, kamu ngigau nama itu," jawabku sambil menatap keluar jendela mobil.

"Ah, i-itu. Mmm ... anu, dia—"

"Pacar kamu?" potongku.

"I-iya, Non. Di-dia pacar saya,"

"Ooh ...."

Tinggal bilang pacar saja susah amat. Memangnya aku polisi sampai dia gagap begitu, kayak maling lagi ketahuan mencuri saja. Apa Paijo malu ya ketahuan punya pacar. Ah, sudahlah bukan urusanku juga. Yang penting dia tidak ingat apa yang terjadi tadi pagi.

***
Kupandangi langit-langit kamar dengan cahaya temaram. Jam menunjukkan angka sebelas malam, tapi mataku belum bisa diajak kompromi untuk terbang ke alam mimpi. Selain karena khawatir menunggu Mas Riko yang belum pulang, aku juga masih memikirkan kejadian tadi pagi dengan Paijo. Ah, Paijo lagi.

Hmmm ... Paijo, ternyata dia sudah punya pacar. Kenapa aku seperti tidak suka ya dia punya pacar? Aku menggelengkan kepala menepis semua bayangan tentang Paijo.

Suara gagang pintu dibuka. Aku menoleh. Muncullah Mas Riko di balik pintu dengan pakaian yang acak-acakan. Ia sudah pulang rupanya.

Kuhampiri dia, seketika aku menutup hidung. Bau alkohol menyeruak dari mulutnya. Jalannya sempoyongan. Kebiasaan barunya akhir-akhir ini. Saat stress dia lampiaskan pada minuman haram itu. Sudah berkali-kali kuperingatkan agar menjauhinya, tapi yang kudapat malah makian dan umpatan.

Aku menyesal harus berjodoh dengan Mas Riko yang ternyata sifatnya berbanding terbalik dengan saat pertama kenal.

Dulu, saat awal pernikahan aku mengenalnya sebagai sosok yang menyenangkan. Dia humoris, lembut juga romantis. Nah, sekarang boro-boro. Jangankan merayu, senyum aja dia jarang, yang ada marah-marah tiap hari.

"Kamu minum, Mas?" Kusangga tubuhnya yang limbung. Untunglah dekat dengan tempat tidur saat tadi aku hampir terjatuh menahan bobotnya yang berat. Kududukkan dia sambil mengomel.

"Sudah kubilang jangan minum lagi. Dosa, Mas. Kalau ada masalah itu cerita bukannya dibawa minum."

Mas Riko menyeringai khas orang mabuk. Mulutnya komat kamit, meracau tidak jelas.

Aku membantu membuka jasnya, juga sepatunya. Dia langsung mengempaskan tubuhnya di tempat tidur.

Satu kata yang kutangkap jelas sebelum ia mendengkur, dan itu membuatku tertegun.

"Karin .... "

Lagi-lagi nama itu terdengar. Siapa sih sebenarnya Karin itu?Apakah Karin yang Mas Riko sebut sama dengan Karin-nya Paijo? Pikiranku mulai menerka-nerka. Jangan-jangan dia selingkuhan Mas Riko.

Rahasiaku dengan Sopir PribadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang