03. Restu

208 27 5
                                    

Alisa memejamkan matanya dan berusaha membuat tidurnya terlelap. Tapi sayang, gadis itu hanya guling ke kanan dan sebentar guling ke kiri hingga akhirnya dia memilih bangkit  dan duduk di atas tempat tidur dengan menghela nafas berat menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Tidurnya kali ini dibuat gelisah karena tawaran menikah yang di lontarkan laki laki asing untuknya.

"Kenapa aku terpengaruh dengan ucapannya?" cicitnya yang kemudian menyibakan selimut tebalnya dan beranjak ke dapur untuk mencari air minum.

Sebelum melangkah keluar kamar,  Alisa menatap ponselnya dan meraih benda pipih itu dari atas nakas.

Besok aku tunggu di cafe Horison sepulang kerja untuk keputusanmu.

Dika

Alisa membaca pesan yang dikirim oleh Dika dan kemudian meletakkan kembali ponselnya.

"Ah, kenapa jadi begini?" cicitnya Saat dia berada di meja makan dengan segelas air di tangannya.

"Bukannya sama saja jika aku menikah dengan Andres atau laki laki songong itu? Mereka sama-sama asing bagiku. Tapi apa memang aku harus menikah saat ini?" Beberapa pikiran yang menggelitik otaknya kini tak bisa dihindari.

"Andress, aku tak mengenalnya tapi aku sedikit takut jika melihat sorot matanya dan sejak kapan mama berminat dengan hidupku jika tak punya tujuan untuk
keuntungannya. Tapi laki-laki songong itu, sikapnya terlalu arogan. Bahkan auranya sangat tidak menyenangkan di balik wajah manisnya." Alisa bermonolog dengan dirinya sendiri. Gadis berbibir mungil itu mencoba mengistirahatkan dulu otaknya agar bisa berfikir lebih jernih untuk beberapa opsi yang membuat dilema.

###

Alisa sengaja menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan pulang lebih awal, setelah meminta ijin pada Arini yang berstatus atasannya. Dia ingin menemui Dika secepatnya. Pukul empat sore Alisa sudah memarkirkan mobilnya di sebuah cafe yang tidak jauh dari kantornya. Hari ini, dia sengaja mengenakan celana bahan dengan kemeja bermotif bunga karena tidak mau kejadian di mana Dika mengatainya pamer paha terulang saat menggunakan rok span. Alisa Oria Norah sesimpel apapun tampilannya tetep saja memberi kesan elegant.

Gadis berkulit putih itu memasuki pintu utama cafe. Pandangannya menyapu seluruh isi ruangan hingga dia mendapati seorang laki laki yang mengenakan kemeja bermotif kotak yang di padu dengan celana jeans itu masih menatap MacBooknya dengan serius. Tubuh tinggi dan kulit sawo matang ditambah lagi wajah gantengnya itu membuatnya mencolok diantara pengunjung lainnya.

"Sudah lama?" sapa Alisa saat berdiri di depan Dika.

"Duduklah!" jawab Dika masih fokus pada MacBooknya dan sesaat kemudian menutupnya.

Ah, seperti biasa sikap Dika membuat jengah gadis yang sedari tadi menatapnya. Tapi kali ini Alisa sudah mulai terbiasa dengan perlakuan dipandang sebelah mata oleh pria itu. 

"Bagaimana keputusanmu?" tanya Dika dengan menatap tajam Alisa.

"Apa yang kamu harapkan dari pernikahan ini?" Alisa pun balik bertanya pada laki laki yang menyandarkan punggungnya di kursi.
"Status! Mamaku sudah mendesakku menikah sebelum usiaku 30 tahun." bohong Dika yang juga masih menyisakan ragu di benak Alisa.

"Aku belum ingin terikat. Apalagi jika hatiku masih terpaut dengan seseorang." lanjut Dika

"Ajeng?  Maksudmu aku pion dalam permainanmu?" sela Alisa dengan tersenyum sinis yang nampak jelas di sudut bibir mungilnya. Segitukah dia menyepelekanku, hingga aku tak pernah dianggap sama sekali.

"Bukankah ini saling menguntungkan. Apa kau yakin jika mamamu memilihkan pria baik untukmu? Aku rasa beliau tidak peduli dengan kehidupanmu. Sedangkan kau juga dituntut untuk menikah bukan?." ucap Dika dengan santai tapi sorot matanya mengintimidasi penuh untuk jawaban gadis di depannya.

Alisa terdiam,"Laki laki ini seperti meyakinkan keputusanku." gumam Alisa dalam hati.

"Bagaimana?" desak Dika saat melihat Alisa tertegun.

"Baiklah, tapi sekarang kita akan menemui papa dulu!" Alisapun mengiyakan ide gila Dika. Ya, dia pikir setidaknya akan ada seorang dalam hidupnya setelah papanya.

"Lebih cepat lebih baik." Dika memasukan Macbooknya ke dalam ransel.

Keduanya berjalan menuju parkiran. Saat mendapati kendaraan mereka masing-masing, akhirnya Dika meminta Alisa meninggalkan mobilnya dan pergi ke rumah papanya dengan menggunakan jeep miliknya.

Alisa melirik cemas Sosok di sampingnya yang masih fokus dengan ramainya jalan di tengah kota. Mereka hanya terdiam di perjalanan menuju rumah Papa Alisa.

"Di mana alamatnya?" tanya Dika saat memasuki kawasan perumahan elite.

"Rumah no. 05 bercat putih dengan dua pohon palm di depannya." jelas Alisa.

Tanpa menjawab Alisa, Dika membelokan mobilnya ke halaman rumah yang nampak sangat sepi. Mereka berjalan bersama menuju pintu utama rumah berlantai dua itu.

Alisa memencet bel beberapa kali hingga nampak seorang wanita yang tak lagi muda itu membuka pintu.

"Ada apa, Al? Kok, tumben ke sini?" Mendengar pertanyaan wanita yang dia tau mama Alisa, Dika mengerutkan kening merasa Aneh.

"Ingin bertemu papa, Ma?"

"Ayo masuk! Papamu ada di ruang tengah." ucap wanita itu yang kemudian menutup kembali pintu rumah.

Sudah lama Alisa tak berkunjung. Rasanya dia sangat merindukan papanya, saat melihat lelaki yang sedang menonton tv membuat mata alisa berkaca-kaca.

"Al, kemarilah!" ucap Handoko saat melihat putri sulungnya berjalan ke arahnya.

"Pa, Alisa kangen papa." Gadis bertubuh kurus itu memeluk erat Sang papa.

"Al, siapa dia?" tanya Handoko saat matanya menangkap keberadaan laki laki tinggi yang datang bersama anak gadisnya.

"Dia, Mas Dika." jawab Alisa setelah meregangkan pelukan ayahnya. Dan menatap ke arah Dika, membuat Dika maju beberapa langkah untuk menyalami Handoko.

"Kenalkan, nama saya Dika."

"Silahkan duduk!" sambut Handoko dengan ramah.

"Saya sebenarnya ke sini ingin meminta anak gadis om untuk menjadi istri saya." tutur Dika langsung ke inti.

"Hah serius Al, kenapa mendadak?" sela wanita setengah baya yang duduk di sebelah Handoko.

"Apa kamu sedang hamil, Al?" pertanyaan papanya membuat Alisa tersedak teh hangat yang baru saja dia minum.

"Pelan-pelan." Dika yang duduk di sampingnya menepuk pelan punggung gadis itu.

Dua hal yang membuat Alisa terheran. Pertama, pertanyaan ayahnya. Kedua, sikap manis Dika penuh kepura-puraan. Betapa ahlinya pria itu saat berakting.

"Nggak, Pa. Sebenarnya kami merencakan ini sudah lama."

"Kami berharap Om bisa memberikan restu pada kami untuk menikah dalam waktu dekat karena usia kamu yang sudah mumpuni." sela Dika sedikit mendesak

"Al, apa kamu sudah tahu latar belakang dia?" Mendengar pertanyaan itu,Dika hanya melirik tajam wanita yang duduk di sebelah Handoko.

"Baiklah, Papa akan merestui apapun keputusan kamu. Papa yakin kamu sudah memikirkan dengan baik, lagi pula Papa juga ingin cepat punya cucu." jawab Handoko sambil tersenyum.

"Tapi pa...," sela Liana sebagai mama tiri Alisa.

"Kami hanya ingin menikah di depan keluarga saja, Pa. Tidak usah ada resepsi atau ramai-ramai dan semacamnya."

"Kenapa? Tapi harus sah sesuai agama dan negara, lo!" sergah Liana seolah ingin memojokan Alisa.

"Tentu saja, Tante." jawab Dika membuat Alisa menoleh ke arahnya.

"Papa sudah percayakan semua padamu, Al. Tapi, jangan lupa sebelum menikah berkunjunglah ke makam mamamu." kalimat itu membuat Dika terhenyak kaget. Satu fakta yang belum di ketahui olehnya jika wanita yang ada di depannya adalah mama tiri Alisa. Pantas saja perlakuannya seperti itu. Dika sedikit melirik Alisa yang tertunduk. Ada sedikit rasa iba dan bersalah sudah membawa gadis itu dalam ide ini.

Bersambung

Tinggalkan jejak ya gengs

My Husband My Hero (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang