06. Akur Dalam Satu Atap

193 27 1
                                    

Dika dan Alisa masih berada di rumah keluarga Hondoko seusai ijab qobul yang di lakukan Dika. Ada rasa aneh di hatinya setelah mengucapkan kalimat syakral itu, seolah bukan sekedar ide gila yang seperti dia bayangkan. Targetnya satu tahun, setelah menangkap salah satu pentolan sindikat mafia itu atau ketika Alisa sudah mendapatkan laki laki yang bisa menjaganya.

"Kalian akan menginap di sini kan?" tanya Handoko berharap anak menantunya mau menginap.

"Nggak, Pa. Alisa akan pulang ke appartemen Mas Dika. Alisa masih membereskan barang-barang Alisa dan besok sudah berangkat kerja." jawab Alisa dengan tersenyum ke arah papanya.

"Al, aku akan ke kamar kecil dulu." ucap Dika yang kemudian berjalan ke belakang.

Langkahnya terhenti saat mendengar suara wanita sedikit berbisik. Dika menunda sejenak untuk masuk ke kamar mandi dan menoleh ke arah dapur. Dan ternyata Liana sedang berbicara di telepon.

"Aku nggak mau tau. Secepatnya kamu harus menggagalkan pernikahan resmi Alisa. Atau jika itu gagal, sekalian habisi saja gadis itu." Dika tersentak kaget saat mendengarnya dia tak pernah menyangka jika Mama Liana senekat itu.

"(....)"

"Andress ... jangan lupa perkebunan dan vila itu penting untuk bisnis kita." ucap Liana yang kemudian menutup teleponnya.

Secepatnya Dika menghindar menuju kamar mandi yang bersebelahan dengan ruangan dapur. Laki laki itu semakin bingung dengan cerita keluarga Handoko.

"Pelan-pelan, Dik. Sepertinya ini lebih rumit dari yang kamu pikir sebelumnya." Dika bermonolog dan segera kembali ke ruang keluarga di mana ada Alisa, ayahnya dan Liana.

"Mas Dika, kita pulang sekarang ya? Aku masih harus membereskan barangku."  ucap Alisa saat melihat kedatangan Dika. Pria yang masih mengenakan kemeja putih itu hanya mengangguk dan bersiap siap untuk pulang.

Handoko mengantarkan putrinya sampai mobil Ronge Rover yang terparkir di garasi.

"Papa titip Alisa!" pinta laki laki paruh baya dengan suara tercekat.

"Iya, Pa." Dika berpamitan kepada kedua mertuanya dan sebelum masuk mobil Alisa memeluk erat ayahnya.

Range Rover itu melaju meninggalkan kawasan perumah elite itu. Dika melirik Alisa yang terus saja menatap keluar jendela.

"Apa yang kau pikirkan, Al?"

"Aku hanya merindukan Papa." jawab Alisa tanpa menoleh ke Arah Dika.

"Kenapa kau menolak untuk menginap?" tanya Dika penuh selidik.

"Aku tak punya kamar di rumah besar itu. Sejak Papa menjual rumah yang pernah kita tinggali bersama mama dan membeli rumah itu. Papa seperti membuangku. Saat itu aku kelas delapan dan Papa memilihkan aku sekolah asrama putri.  Aku benar benar marah dengan keputusan Papa. Hingga aku memutuskan untuk menjaga jarak dengannya. Padahal sebenarnya aku merindukannya. Aku merindukan semua tentang kebersamaan kita. Ah, sudahlah ...jangan bicarakan itu, semua membuatku ingin menangis." ucap Alisa mencoba mengelak jika kenyataannya dia sudah menangis.

"Bukanya sudah menangis?" kilah Dika dengan menyodorkan tissu ke arah wanita di sampingnya. Alisa hanya memonyongkan bibirnya mendengar ucapan Dika.

Mereka sudah sampai baseman appartman Dika. Alisa segera turun, dia tahu jika pernikahannya tak senormal pasangan lain . Maka dari itu Alisa tak berharap Dika bersikap manis membukakan pintu mobil untuknya.

"Mas Dika. Barangku nggak dibawa semuanya?" tanya Alisa saat melihat Dika hanya membawa satu koper saja dari dalam mobil.

"Nanti biar aku yang membawanya ke atas."

Mendengar jawaban Dika, gadis yang mengenakan dress dengan balutan outer jas milik Dika itu langsung berbalik menuju lift. Seperti tak percaya, saat Dika berhasil mensejajarkan langkah dan menggenggam lengan tangannya saat mereka memasuki lift bersama.

Sejak mendapat teguran dari Mama Lucy, Dika mulai menata sikapnya pada Alisa . Hingga seharian ini tak ada percekcokan yang tidak penting diantara mereka.

Jika tak bisa membahagiakan seseorang setidaknya jangan menyakitinya.

Alisa mendaratkan tubuhnya di sofa. Tubuhnya sudah mulai mengeluh untuk diistirahatkan.
Dika berjalan dari arah dapur membawa dua cangkir di tangannya. Satu cangkir susu untuk Alisa dan satunya lagi kopi untuknya.

"Ah ... yang benar ini Mahardika Setya Praja? " ucap Alisa girang saat menerima secangkir susu yang diberikan Dika.

"Dispensasi hari ini." celetuk Dika dengan wajah datarnya.

"Mulai besok kamu yang harus memasak makanan, menyiap kopi hitam setiap hari."

"Tapi aku nggak bisa masak?"

"Ck... itulah salah satu yang membuatku nggak mungkin jatuh cinta padamu. Belajarlah! Buka youtube kek,  atau apalah, kan bisa?"

Alisa hanya cemberut mendengar uraian Dika yang serasa sulit dia lakukan.

"Kamarmu yang ada di dekat dapur. Jangan masuk kamarku tanpa seijinku. Ke dua jika aku dinas keluar kota jangan membukakan pintu tanpa melihat monitor terlebih dulu. Jika tak kenal siapa tamunya, Jangan dibuka! Sekarang berangkat kerja dan pulang kerja biar aku yang antar. Jika kebetulan aku dinas luar kota kamu bisa pake mobil sendiri itu pun jangan lewat jalan sepi! Oh iya, untuk nikah kantor mungkin sedikit menyusahkanmu karena kamu harus bolak balik mendapat panggilan nantinya."

"Ya ampun ..., banyak banget aturannya. Emang kamu kerja apa?"

Melontarkan pertanyaan itu pada suaminya membuat Alisa tersadar bertapa tololnya dia tidak pernah bertanya sebelum pernikahan itu. Otaknya hanya berfikir mengapa dan bagaiamana bisa pernikahannya dengan Dika.

"Suatu saat kamu akan tau sendiri. Oh iya, jangan menyentuh MacBook, I phone atau perangkat lainnya  yang ada di ruang kerjaku!"

"Astaga... kamu ini seperti agen rahasia negara saja, Mas. Serba rahasia." celetuk Alisa yang kemudian menutup rapat mulutnya saat melihat Dika beranjak pergi menuju ruang gym yang ada di dekat balkon.

"Mungkinkah benar apa yang aku pikirkan?" gumam Alisa sambil bergidik ngeri.

Alisa memilih masuk ke dalam kamar yang sudah di tunjukan Dika padanya. Pandangannya mengedar saat melihat kamar yang masih rapi dan bersih juga dari interior di dalamnya. Cuma ada lemari, tempat tidur dan sofa. 

Wanita yang saat ini mencepol rambutnya kini kembali ingin melihat dapur dan isi kulkas. Tapi, saat berjalan melewati penyekat ruangan, dia  melihat ponsel Dika yang terus bergetar. Dilihatnya, ternyata dari Mama Lucy.

"Mas, ada telpon dari Mama Lucy."

"Angkat saja, Al!"

Alisa pun mengangkat panggilan mama mertuanya setelah mendapat ijin Dika.

"Iya Ma, Mas Dika lagi ngegym."

"Cuma ngasih tau, mama sudah sampai rumah."

"Syukurlah, Ma." jawab Alisa.

"Oh ya, minta Dika untuk mengurangi rokoknya, Al! Ya sudah, Mama tutup dulu, sayang. Hati hati di sana!"

Alisapun meletakkan ponsel Dika di tempat Asal. Hatinya terasa basah, adem saat mendengar kata sayang yang diucapkan oleh mama mertuanya.

"Kenapa mama, Al?" Suara bariton Dika menyadarkanya kembali. Pria tubuhnya basah dengan keringat itu sudah berdiri di dekat alisa.

"Mama sudah sampai. Katanya, Mas Dika diminta mengurangi merokoknya."

Takut mendapat semprot mulut pedasnya Dika, Alisa memilih kabur menuju dapur. Melihat tingkah gadis tuanya itu membuat senyum tipis terbit di sudut bibirnya.

My Husband My Hero (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang