2. Rindu.

0 0 0
                                    

Selesai makan malam,Jenaka masuk kedalam kamar. Biasanya dia akan menghabiskan waktu untuk duduk didepan rumah ditemani mas Daru,sambil ngopi berdua. Tetapi karena malam ini mas Daru sedang pergi untuk menemui pujaan hati jadi Jenaka mengalah dan memilih masuk kedalam kamar. Selain ingin mengerjakan tugas juga ia kesepian,tetapi setelah membuka pintu kamar Jenaka langsung lari keatas kasur dan menarik gitar coklat klasik kesayangannya. Jadi lupa deh jika dia masuk kekamar itu berniat untuk belajar,tetapi Jenaka terlihat masa bodo yang jelas sekarang kini jemarinya menari-nari diatas senar gitar diiringi bibirnya berkomat-kamit menyanyikan sebuah lagi indah yang mengisi kekosongan kamarnya ini.

Entah sejak kapan Jenaka sadar bahwa lagu yang ia nyanyikan cukup mengingatkanya kepada seseorang yang telah lama meninggalkannya,yaitu bapak. Jenaka rindu,pak. Katanya didalam hati paling dalam. Petikan gitarnya terhenti kala suara hujan disertai geledek terdengar memekak keras. Jenaka terdiam seribu bahasa menatap keluar jendela,memupuk perasaan kehilangan yang semakin hari semakin sakit. Mendadak suasana menjadi sendu ketika Jenaka teringat sosok bapak,Jenaka tidak menangis tetapi kehilangan bapak membuat Jenaka sedih.

"Bang!".

Pintu kamar Jenaka berdecit diiringi suara Gentala yang memanggilnya. Lantas Jenaka menoleh,menatap sang adik dengan dahi berkerut kesal. Seolah berkata 'ketuk pintu dulu,kalau mas gituin kamu-nya juga gak suka'. Genta meringis lantas menunjuk kearah belakangnya.

"Bang,genteng kamar Genta bocor nih". Ujarnya yang membuat Jenaka langsung bangkit.

"Hah yang mana?".

Genta berjalan menuju kamarnya diiringi Jenaka dibelakang. Di kamar Genta sudah ada mama dan Jenar yang membantu membereskan barang-barang Genta yang terkena tetesan hujan. Parahnya kebocoran didalam kamar Genta cukup banyak membuat Jenaka terdiam sejenak.

"Coba mas-".

Mama yang baru akan mengangkat buku langsung menggeleng dan berkata."Besok saja benerin gentengnya,mas. Hujannya deras diluar,nanti kepleset".

Jenaka mengangguk pasrah,ia langsung ikut membantu mama dan Jenar memberesi semua barang Genta agar tidak mengenai air hujan dari kebocoran itu. Maklum saja,rumah ini sudah ada bahkan sejak bapak masih kecil jadi masih asli dari awal mula dibangunnya dan beberapa kali di renov supaya layak pakai.

"Mas minta tolong ambilin baskom,dek. Sebanyak yang bocor ya". Ujar Jenaka,mencolek lengan Jenar yang lewat didepannya.

Jenar yang diminta mengambil baskom langsung ngacir keluar kamar Genta menuju dapur. Beberapa menit kemudian kembali dengan wajah tanpa dosa menatap Jenaka yang kesal karena Jenar tidak membawa baskom yang diminta.

"Mana baskomnya?". Tanya Jenaka.

"Mas,sepuluh baskom pun sepertinya gak muat buat kebocoran ini. Didapur dan diruang tengah juga ada yang bocor". Kata Jenar dengan nafas terengah-engah.

"Beneran,dek?". Tanya mama ikut bingung.

"Iya,ma".

Jenaka menghela nafasnya,tidak kaget sebab setiap tahunnya pasti mereka mengalami kebocoran ini.

"Ya sudah kamu cek kamarmu dulu,sama kamarnya mas Daru ya". Ujar Jenaka lalu menoleh kearah Genta yang sejak tadi hanya duduk manis di kursi meja belajarnya."Kamu,Ta. Ambil baskom,panci atau apapun di dapur buat tadah yang bocor".

"Kok aku sih,mas?". Tanya Gentala kesal.

"Ya terus siapa lagi?mama?".

Genta menyebik,awalnya tak mau melaksanakan perintah Jenaka tetapi saat Jenaka dengan gamblangnya memukul belakang kepala Gentala. Membuat bocah itu semakin uring-uringan dan mama sudah masa bodo,mau bertengkar juga silahkan karena menurut mama mereka sudah besar dan tahu yang lebih baik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang